CINTA AKAN RUMAHMU MENGHANGUSKAN JIWAKU (Refleksi ata film Joan of Arc)
Karya seni adalah keindahan yang bersentuhan dengan realitas. Film “Joan of Arc” adalah suatu pengolahan yang eksploratif dan dengan daya imajinasi yang hidup dan kreatif atas realitas. Jika karya seni tidak bersentuhan dengan realitas, ia menjadi mandul dan tanpa nama yaitu bukan seni. Medan eksplorasi yang kaya dari karya seni adalah realitas itu sendiri. Film “Joan of Arc” sungguh berangkat dari kenyataan sejarah dan hendak menggugah kesadaran Gereja zaman sekarang yang rupa-rupanya sedikit mapan hidup dalam “ pelupaan” akan sejarah. Film ini sebenarnya juga membangkitkan kembali “memoria” (ingatan) gereja atas masa lalunya. Pada saat itu (masa hidup Joan Of Arc), tindakan dan pola pikir Gereja sebenarnya tidak berada dalam koridor dan sistem epistemologis yang salah dan masih dianggap sebagai suatu kebenaran yang harus dipertahankan. Kebenaran masa lalu itu direkonstruksi sejalan dengan lajunya pola pikir baru yang membongkar kemapanan pola pikir dan tatanan yang lama.
Apresiasi Atas Karya Seni yang Berbincang tentang Nilai Hidup
Tokoh Jeanne of Arc adalah prototipe dari seluruh manusia kerdil di muka bumi yang hendak menggeliat untuk memperjuangkan hak dan kebebasan nuraninya. Joan didorong oleh keyakinan yang besar serta bersumber dari bisikan nuraninya ( suara hati) sebagai seorang utusan yang datang untuk mempersatukan Prancis yang terpecah-pecah saat itu. Menarik karena tokoh Jeanne berasal dari keluarga sederhana dan dari sebuah daerah jajahan Inggris. Dia sendiri menyaksikan betapa kejamnya nafsu para tentara Inggris untuk memberangus hak hidup dan kebabasan manusia yang sedang berjuang untuk hidup. Namun berpijak dari kenyataan kekejaman itu, ia berani mati untuk memperjuangkan perdamaian dan melenyapkan badai represif yang dibentuk oleh rezim yang berkuasa pada saat itu yaitu Inggris.
Joan berani dihanguskan dalam api sebagai representasi kesombongan hukum yang nir-human pada saat itu. Dan Gereja sangat tidak dewasa untuk menentukan sikapnya sebagai wadah yang otonom dalam menegakkan kerajaan damai yang sebenarnya lebih mementingkan manusia daripada hukum yang membabi butakan jiwa manusia. Cinta akan kebenaran ( Allah) menghanguskan aku. Kira-kira demikianlah jeritan hati Jeanne of Arc sebelum dia benar-benar hangus dilahap api kebencian yang bersumber dari piciknya cara berpikir dan kerdilnya hati untuk melihat yang lain sebagai jiwa yang harus diampuni dan diselamatkan.
Gereja yang Bersejarah
Seorang filsuf kontemporer dari mashab Frankruf, Jurgen Habermas mengungkapkan keprihatinannya akan Gereja dengan sebuah nada kegelisahan sekaligus sebagai sumbangan etis bagi Gereja agar bisa merefleksikan dirinya guna mencapai perkembangannya yang lebih baik. Dia mengatakan bahwa supaya Gereja tetap eksis sebagai wadah yang menterjemahkan kehendak yang Ilahi di tengah zaman modern yang sangat mengagungkan rasionalitas di mana tehnologi adalah produk vitalnya, maka ia harus belajar dari pengalamannya sebagai wadah yang bersejarah.. Tentu saja sejarah mensiratkan peranan anamnetis untuk mengenangkan kembali baik kejayaan maupun keterpurukannya di masa lampau, kata Metz dalam sebuah bukunya yang berjudul “ The Thelogy of Politic”. Film “ Jeanne of Arc” kurang lebih memberikan gambaran yang sangat fundamental mengenai hidup Gereja yang bersejarah baik mengenai kejayaannya maupun situasi keterpurukannya di masa lalu.
Pada zaman Yesus, politik itu tunduk pada agama yang memunculkan apa yang dinamakan negara Theokrasi di mana Negara itu harus tunduk kepada agama. Pada abad pertengahan terutama ketika kekuatan Gereja (kekristenan) berada pada posisi puncak, Kekuasaan Gereja dan negara ( politik) adalah sama. Kekuatan Gereja adalah kekuatan negara juga. Gereja bahkan terjun dalam masalah politik praktis terutama perebutan kekuasaan dan wilayah kekuasaan pada saat itu. Gereja dan Negara tampaknya diam terhadap jeritan jiwa-jiwa yang mati kelaparan karena korban politik yang nirhuman dan tidak pro-rakyat. Rakyat hidup dalam budaya represif serta diperalat sebagai kekuatan masa untuk berperang. Dan inilah situasi politis yang berlaku pada saat Jeanne hidup sampai pada saat di mana dia harus diadili sebagai orang yang dicurigai bersalah dan mengajarkan ajaran yang palsu ( bidaah) oleh pihak Gereja terutama atas vision yang dialaminya. Ada ketegangan yang ekstrem antara hukum kodrat (hati nurani), hukum Gereja dan hukum sipil (negara). Ketika Jeanne diadili dan ditemukan kesulitan untuk dinyatakan bersalah, maka Gereja cuci tangan dan menyerahkan Jeanne kepada hukum sipil sebagai perpanjangan tangan dari hukum Gereja. Pada saat itu Gereja tidak memiliki jati diri yang khas sebagai lembaga yang otonom. Jeanne pun menjadi seorang Martir negara bukan Martir Gereja. Sungguh ironis.
Seruan Profetis untuk Perjuangan Gereja Sekarang
Seruan profetis mengandaikan adanya persoalan pelik dalam tubuh internal Gereja sekarang. Dan salah satu persoalan yang sedikit mencuat adalah mengenai keterlibatan Gereja dalam politik praktis. Begitu banyak fakta yang harus digali dan direfleksikan agar Gereja mendesain kembali keterlibatannya dalam politik praktis dan pola relasi antara gereja dan Negara. Relasi yang sehat antara gereja dan Negara hendaknya bersifat inter-relasional dalam arti bahwa kedua entiats ini saling mengisi tanpa harus saling mendominasi satu sama lain. Gereja sebenarnya tidak boleh menutup mata terhadap situasi politis yang isinya berupa perebutan kekuasaan. Gereja lebih mengarah kepada perjuangan politik kemanusiaan yang memegang prinsip tunggal yaitu memanusiakan manusia (humanizing human). Politik hendaknya kembali ke citranya yang awali seperti yang digagaskan oleh Plato yaitu mengarah kepada satu hal yang substasial yaitu kesejahteraan bersama (common wealth) dan kepentingan atau kebaikan umum (bonum commune). Misi Gereja option for the poor dan be a poor menjadi tanda keberpihakan Gereja dalam mengembangkan martabat manusia yang layak dihormati dan dilindungi.
Dalam kerangka pemikiran postmodern yang tidak mengakui adanya kebenaran yang tunggal, muncul sebuah kritikan yang sangat kritis bahwa kebenaran satu-satunya bukan hanya terdapat dalam Gereja katolik. Kebenaran itu milik masing-masing entitas yang sadar akan dirinya sebagai subjek yang berpikir dan ada. Film Jeanne of Arc yang digarap oleh seorang sutradara Atheis sekurang-kurangnya menantang Gereja untuk mempertanyakan dirinya mengenai kebenarannya yang diwartakannya. Dengan kata lain, Gereja harus terbuka terhadap kebenaran lain di luar dirinya.
Apresiasi Atas Karya Seni yang Berbincang tentang Nilai Hidup
Tokoh Jeanne of Arc adalah prototipe dari seluruh manusia kerdil di muka bumi yang hendak menggeliat untuk memperjuangkan hak dan kebebasan nuraninya. Joan didorong oleh keyakinan yang besar serta bersumber dari bisikan nuraninya ( suara hati) sebagai seorang utusan yang datang untuk mempersatukan Prancis yang terpecah-pecah saat itu. Menarik karena tokoh Jeanne berasal dari keluarga sederhana dan dari sebuah daerah jajahan Inggris. Dia sendiri menyaksikan betapa kejamnya nafsu para tentara Inggris untuk memberangus hak hidup dan kebabasan manusia yang sedang berjuang untuk hidup. Namun berpijak dari kenyataan kekejaman itu, ia berani mati untuk memperjuangkan perdamaian dan melenyapkan badai represif yang dibentuk oleh rezim yang berkuasa pada saat itu yaitu Inggris.
Joan berani dihanguskan dalam api sebagai representasi kesombongan hukum yang nir-human pada saat itu. Dan Gereja sangat tidak dewasa untuk menentukan sikapnya sebagai wadah yang otonom dalam menegakkan kerajaan damai yang sebenarnya lebih mementingkan manusia daripada hukum yang membabi butakan jiwa manusia. Cinta akan kebenaran ( Allah) menghanguskan aku. Kira-kira demikianlah jeritan hati Jeanne of Arc sebelum dia benar-benar hangus dilahap api kebencian yang bersumber dari piciknya cara berpikir dan kerdilnya hati untuk melihat yang lain sebagai jiwa yang harus diampuni dan diselamatkan.
Gereja yang Bersejarah
Seorang filsuf kontemporer dari mashab Frankruf, Jurgen Habermas mengungkapkan keprihatinannya akan Gereja dengan sebuah nada kegelisahan sekaligus sebagai sumbangan etis bagi Gereja agar bisa merefleksikan dirinya guna mencapai perkembangannya yang lebih baik. Dia mengatakan bahwa supaya Gereja tetap eksis sebagai wadah yang menterjemahkan kehendak yang Ilahi di tengah zaman modern yang sangat mengagungkan rasionalitas di mana tehnologi adalah produk vitalnya, maka ia harus belajar dari pengalamannya sebagai wadah yang bersejarah.. Tentu saja sejarah mensiratkan peranan anamnetis untuk mengenangkan kembali baik kejayaan maupun keterpurukannya di masa lampau, kata Metz dalam sebuah bukunya yang berjudul “ The Thelogy of Politic”. Film “ Jeanne of Arc” kurang lebih memberikan gambaran yang sangat fundamental mengenai hidup Gereja yang bersejarah baik mengenai kejayaannya maupun situasi keterpurukannya di masa lalu.
Pada zaman Yesus, politik itu tunduk pada agama yang memunculkan apa yang dinamakan negara Theokrasi di mana Negara itu harus tunduk kepada agama. Pada abad pertengahan terutama ketika kekuatan Gereja (kekristenan) berada pada posisi puncak, Kekuasaan Gereja dan negara ( politik) adalah sama. Kekuatan Gereja adalah kekuatan negara juga. Gereja bahkan terjun dalam masalah politik praktis terutama perebutan kekuasaan dan wilayah kekuasaan pada saat itu. Gereja dan Negara tampaknya diam terhadap jeritan jiwa-jiwa yang mati kelaparan karena korban politik yang nirhuman dan tidak pro-rakyat. Rakyat hidup dalam budaya represif serta diperalat sebagai kekuatan masa untuk berperang. Dan inilah situasi politis yang berlaku pada saat Jeanne hidup sampai pada saat di mana dia harus diadili sebagai orang yang dicurigai bersalah dan mengajarkan ajaran yang palsu ( bidaah) oleh pihak Gereja terutama atas vision yang dialaminya. Ada ketegangan yang ekstrem antara hukum kodrat (hati nurani), hukum Gereja dan hukum sipil (negara). Ketika Jeanne diadili dan ditemukan kesulitan untuk dinyatakan bersalah, maka Gereja cuci tangan dan menyerahkan Jeanne kepada hukum sipil sebagai perpanjangan tangan dari hukum Gereja. Pada saat itu Gereja tidak memiliki jati diri yang khas sebagai lembaga yang otonom. Jeanne pun menjadi seorang Martir negara bukan Martir Gereja. Sungguh ironis.
Seruan Profetis untuk Perjuangan Gereja Sekarang
Seruan profetis mengandaikan adanya persoalan pelik dalam tubuh internal Gereja sekarang. Dan salah satu persoalan yang sedikit mencuat adalah mengenai keterlibatan Gereja dalam politik praktis. Begitu banyak fakta yang harus digali dan direfleksikan agar Gereja mendesain kembali keterlibatannya dalam politik praktis dan pola relasi antara gereja dan Negara. Relasi yang sehat antara gereja dan Negara hendaknya bersifat inter-relasional dalam arti bahwa kedua entiats ini saling mengisi tanpa harus saling mendominasi satu sama lain. Gereja sebenarnya tidak boleh menutup mata terhadap situasi politis yang isinya berupa perebutan kekuasaan. Gereja lebih mengarah kepada perjuangan politik kemanusiaan yang memegang prinsip tunggal yaitu memanusiakan manusia (humanizing human). Politik hendaknya kembali ke citranya yang awali seperti yang digagaskan oleh Plato yaitu mengarah kepada satu hal yang substasial yaitu kesejahteraan bersama (common wealth) dan kepentingan atau kebaikan umum (bonum commune). Misi Gereja option for the poor dan be a poor menjadi tanda keberpihakan Gereja dalam mengembangkan martabat manusia yang layak dihormati dan dilindungi.
Dalam kerangka pemikiran postmodern yang tidak mengakui adanya kebenaran yang tunggal, muncul sebuah kritikan yang sangat kritis bahwa kebenaran satu-satunya bukan hanya terdapat dalam Gereja katolik. Kebenaran itu milik masing-masing entitas yang sadar akan dirinya sebagai subjek yang berpikir dan ada. Film Jeanne of Arc yang digarap oleh seorang sutradara Atheis sekurang-kurangnya menantang Gereja untuk mempertanyakan dirinya mengenai kebenarannya yang diwartakannya. Dengan kata lain, Gereja harus terbuka terhadap kebenaran lain di luar dirinya.
Comments
Post a Comment