Dunia Baru, Gaya Baru, dan Agama Baru (menengok kecenderungan-kecenderungan)

Ada empat kecenderungan baru yang menjadi sembahan baru manusia dewasa ini. Keempat kecenderungan itu antara lain: hedonisme, konsumerisme, materialisme, dan sekularisme. Kecenderungan-kecenderungan itu hadir dan bersaing dengan identitas kemuridan orang Kristen untuk mampu menyangkal diri, rela memikul salib dan sedia mengikuti jejak Tuhan (Luk 9:23). Manusia seolah-olah merasa terlindungi dan kepenuhan serta keselamatan hidup terjamin ketika terbius secara buta oleh ketiga tawaran ini. Karena penghayatan yang berlebihan atas hal itu, maka panggilan manusia untuk berelasi kepada kekuatan yang adikodrati dan bergantung kepada-Nya menjadi luntur dan pelan-pelan akan mengalami kehilangan drastis. Kita bisa membaca kenyataan ini di daratan Eropa dan belahan dunia lainnya yang sudah menikmati kemajuan dalam banyak bidang. Termasuk Indonesia yang memiliki rasa religius yang tinggi pun terkena godaan yang sama. Lalu kita bertanya, dari kodratnya manusia itu harus menyembah siapa dan tunduk kepada kekuatan yang mana agar mencapai keselamatan dan kepenuhan hidup? Kita pun jangan terlalu mudah untuk mengatakan bahwa tawaran kehebatan dunia itu tidak bermakna apa-apa bagi hidup manusia.
Umat katolik yang sudah membaptiskan dirinya untuk menjadi anak Allah dan anggota Gereja yang penuh juga tergiur masuk secara sadar ke tawaran dan cara hidup dunia yang baru ini. Kita bisa memberikan kepastian bahwa mereka sudah mengingkari janji-janji pembaptisan mereka. Janji hanyalah tinggal janji belaka. Mereka sulit untuk menerima konsekuensi logis dari janji yang diungkapkan yaitu memilih untuk menjadi anak Allah berarti berani dengan sukarela menolak tawaran yang lain. Lalu apa artinya pembaptisan bagi mereka?
Salah satu perilaku yang sangat mengerikan dewasa ini adalah tindakan religius yang berada pada level lahiriah semata. Tindakan religius itu belum menerobos masuk ke dalam kesadaran manusia yang terdalam. Hal ini tampak dalam kenyataan semakin kaburnya nilai beriman dan ritus iman. Ritus iman yang menjadi pegangan utama umat beriman adalah ibadat, namun ibadat tanpa tindakan cinta kasih sungguh tidak menawarkan apa-apa selain berupa rutinitas yang menjemukan. Padahal ibadat yang sejati itu harus berbuah dalam tindakan adil dan kebenaran atau penginjil Yohanes menamainya dalam Roh dan kebenaran. Nabi Hosea mengecam ritus tobat umat pada zamannya yang tidak memiliki dimensi pertobatan sama sekali. Mereka bertobat tapi tidak ada pertobatan (Hosea 6:1-6). Pertobatan yang sejati harus nyata dalam perbuatan kasih. Umat katolik sering terjebak dalam ritual yang dangkal seperti ini.
Umat kristiani tanpa kecuali dipanggil untuk menjadi nabi. Namun, panggilan kenabian bisa karena imamat khusus seperti kuasa tahbisan dan oleh karena imamat umum yang dianugerahkan lewat rahmat pembaptisan. Panggilan menjadi seorang nabi adalah panggilan untuk menjadi corong rahmat Allah yang menyuarakan suara Allah untuk mengubah kenyataan hidup umat Allah seluruhnya. Namun seringkali para pewarta sabda Allah itu salah kaprah untuk menjadikan kesempatan yang berharga itu sebagai ajang memamerkan diri atau memberitakan kehidupan pribadinya dan menyisihkan tujuan pokok pewartaan yaitu Yesus Kristus. Pewarta atau pelayan sabda kerap merasa bangga sekaligus menjadi sombong karena perannya. Namun, mereka lupa bahwa menjadi pemimpin berarti berlaku sebagai seorang pelayan (Luk 22:26) sebagaimana Yesus sendiri datang dan hadir sebagai pelayan (Luk 22:27).
Kita seharusnya berkaca pada panggilan kenabian Yohanes Pembaptis dan meresapkan ajakannya untuk masuk ke dunia kehidupan secara lebih dalam lagi. Yohanes Pembaptis adalah seorang nabi transisi antara perjanjian lama dan perjanjian baru. Sebagai nabi, Dia adalah insan firman Allah. Dan fenomena seputar kenabian ini merupakan fenomena yang kompleks. Gambaran tentang nabi itu tidak tunggal, tetapi majemuk. Hal ini nampak secara jelas dalam berbagai istilah yang dipakai untuk menyebut para nabi yakni pelihat, nabi, abdi Allah, hamba Tuhan, orang yang penuh Roh dan utusan Tuhan .
Keahlian seorang nabi adalah berbicara. Tugasnya adalah menyampaikan firman Allah yakni pikiran, rencana, hati dan kehendak Allah yang menanggapi pikiran, hati dan perbuatan Israel (umat) dan peristiwa-peristiwa sejarah . Para nabi selalu bersuara tentang Tuhan dan bukan tentang dirinya dan untuk dirinya. Tradisi suci mengakui bahwa Allah menurunkan wahyunya kepada manusia melalui para nabi. Kebenaran yang diwahyukan Allah melalui para nabi itu menjadi kebenaran transformatif yang membawa pembaharuan hidup, sehingga para nabi kerap disebut juga sebagai pembaharu. Peran kenabian Yohanes Pembaptis bisa ditemukan terutama dalam pewartaannya yang mengajak semua orang untuk membaharui diri dalam menyambut kedatangan kerajaan Allah dengan berusaha bertobat terus menerus serta bersikap sesuai dengan buah-buah pertobatan itu. Selain itu, dia juga menyerukan suatu pertobatan yang nampak dalam perbuatan kasih. Dan dalam diri Yohanes pembaptis kita bisa belajar dan mengeritik diri ketika menjadi seorang pewarta atau pelayan sabda Allah. Pewarta yang sejati selalu berbicara tentang Allah.

Comments

Popular posts from this blog

PELAYANAN YOHANES PEMBAPTIS (MATIUS 3:1-17)

MENYINGKAP TABIR MATERIALISME DAN HEDONISME PARA ARTIS JAMAN KINI

NILAI SOLIDARITAS ACARA WUAT WA’I DALAM MASYARAKAT ADAT MANGGARAI