AGAMA DAN FANATISME, SEBUAH NARASI KECIL
Kisah ini hanyalah penggalan dari rentetan kisah yang kualami pada waktu aku berlibur tahun 2010 yang lalu. Bulan-bulan yang berdekatan dengan waktu liburan itu banyak kisah yang diingat tapi sedikit saja yang dimaknai bahkan hampir tidak dimaknai sedikitpun. Catatan ini hendak memaknai satu kisah kecil yang aku alami selama menginap semalam di Lombok-Mataram. Akhir-akhir ini baru aku menemukan makna yang berharga dari kisah itu. Kisah itu adalah seputar jalan-jalan pagi mencari kopi dan surat kabar harian di kota itu.
Waktu aku bangun pagi di kota itu, kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 06.00 pagi. Dengan segera aku melewati jalan kecil untuk mencari warung kopi plus surat kabarnya. Aku melirik ke beberapa warung, yang ada hanya jual gorengan dan nasi bungkus yang siap saji. Aku pun bergumam, tujuan ku bukan mencari makanan seperti ini. Aku pun masuk lebih jauh lagi. Tanpa sengaja, saya berdiri santai di depan sebuah warung dan tidak ada indikasi sedikitpun kalau warung itu ada jual kopi panasnya. Bermodalkan mental untuk bertanya, saya melemparkan sebuah pertanyaan ke seorang nenek tua yang menjaganya.
Sang nenek tua itu dengan ramah menyambut pertanyaan ku dan dengan segera melayani aku. Sambil melayaniku, dia memberikan sebuah pertanyaan yang cukup membuatku sedikit gusar dan berkerut dahi. Dia bertanya kepadaku tentang statusku, “mas, orang jawa yang dan agamanya mas apa”? sebelum saya menjawab, dia bertanya lebih lanjut, “ Islam ya”?. Dengan sedikit kecewa saya menjawabnya, saya katolik ibu. Ada apa ibu? Jujur, saya memberikan penjelasan lanjutan kepada nenek tua itu, inilah pertanyaan langka bagiku dan saya cukup terusik, demikian aku menjelaskan kepadanya. Nenek itu menjawab dengan sedikit gemetar, mas, jarang juga saya melayani orang katolik selama ini karena di sini mayoritas muslim. Sesuatu yang lebih aneh lagi ketika dia meneruskan penjelasannya begini, mas, masuk islam lho enak, kita bisa naik Haji, sedekah dan ada sholat lima waktu. Dengan nada sedikit tegang saya menimpali, bu, tidak penting itu dia muslim, katolik atau kafir apalagi kita bertanya keberadaanya, kafir atau bergama. Yang cukup penting sekarang, hayati hidup masing-masing menurut caranya masing-masing. Yang islam menjadi islam beneran, demikian juga saya yang katolik. Hidup baik saja sudah cukup bahkan tanpa dia beragama. Tidak ada agama yang lebih baik di dunia ini dan tidak ada juga yang lebih buruk. Masing-masing agama mewartakan nilai kebenarannya masing-masing dan tidak elegan kalau kita memaksa kebenaran agama kita kepada pemeluk agama yang lain
Dewasa ini agama belum dihayati sebagai institusi yang memproduksikan sebuah nilai penting. Agama masih berupa tanda pengenal semata. Cukup tertera islam dan katolik atau apa pun pada KTP, sudah cukup. Soal penghayatan, ditangguh dulu. Itu perkara lain. Iniulah ciri orang yang fanatik dengan agamanya, namun hidupnya tidak memiliki warna religius sedikit pun. Mereka-mereka inilah pelopor tindakan anarkis dan memupouk rasa benci kepada yang lain.
Waktu aku bangun pagi di kota itu, kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 06.00 pagi. Dengan segera aku melewati jalan kecil untuk mencari warung kopi plus surat kabarnya. Aku melirik ke beberapa warung, yang ada hanya jual gorengan dan nasi bungkus yang siap saji. Aku pun bergumam, tujuan ku bukan mencari makanan seperti ini. Aku pun masuk lebih jauh lagi. Tanpa sengaja, saya berdiri santai di depan sebuah warung dan tidak ada indikasi sedikitpun kalau warung itu ada jual kopi panasnya. Bermodalkan mental untuk bertanya, saya melemparkan sebuah pertanyaan ke seorang nenek tua yang menjaganya.
Sang nenek tua itu dengan ramah menyambut pertanyaan ku dan dengan segera melayani aku. Sambil melayaniku, dia memberikan sebuah pertanyaan yang cukup membuatku sedikit gusar dan berkerut dahi. Dia bertanya kepadaku tentang statusku, “mas, orang jawa yang dan agamanya mas apa”? sebelum saya menjawab, dia bertanya lebih lanjut, “ Islam ya”?. Dengan sedikit kecewa saya menjawabnya, saya katolik ibu. Ada apa ibu? Jujur, saya memberikan penjelasan lanjutan kepada nenek tua itu, inilah pertanyaan langka bagiku dan saya cukup terusik, demikian aku menjelaskan kepadanya. Nenek itu menjawab dengan sedikit gemetar, mas, jarang juga saya melayani orang katolik selama ini karena di sini mayoritas muslim. Sesuatu yang lebih aneh lagi ketika dia meneruskan penjelasannya begini, mas, masuk islam lho enak, kita bisa naik Haji, sedekah dan ada sholat lima waktu. Dengan nada sedikit tegang saya menimpali, bu, tidak penting itu dia muslim, katolik atau kafir apalagi kita bertanya keberadaanya, kafir atau bergama. Yang cukup penting sekarang, hayati hidup masing-masing menurut caranya masing-masing. Yang islam menjadi islam beneran, demikian juga saya yang katolik. Hidup baik saja sudah cukup bahkan tanpa dia beragama. Tidak ada agama yang lebih baik di dunia ini dan tidak ada juga yang lebih buruk. Masing-masing agama mewartakan nilai kebenarannya masing-masing dan tidak elegan kalau kita memaksa kebenaran agama kita kepada pemeluk agama yang lain
Dewasa ini agama belum dihayati sebagai institusi yang memproduksikan sebuah nilai penting. Agama masih berupa tanda pengenal semata. Cukup tertera islam dan katolik atau apa pun pada KTP, sudah cukup. Soal penghayatan, ditangguh dulu. Itu perkara lain. Iniulah ciri orang yang fanatik dengan agamanya, namun hidupnya tidak memiliki warna religius sedikit pun. Mereka-mereka inilah pelopor tindakan anarkis dan memupouk rasa benci kepada yang lain.
Tulisan yang benar benar menceritakan kondisi riil di masyarakat. salam
ReplyDeletesalam juga..... pengalaman ini mengantar manusia jaman untuk untuk sesegera mungkin menetapkan jati dirinya yang sesungguhnya? beriman tanpa agama atau beriman dengan agama?
ReplyDelete