KELUARGA SEBAGAI MEDAN EKSPLORASI CINTA

Suatu ketika, seorang ibu muda menulis sebuah status di sebuah jejaring sosial Facebook demikian “ dulu aku menyangka setelah hubungan cinta ini diikat dalam sebuah sakramen yang suci untuk membentuk sebuah institusi keluarga, aku bakal menemukan surga karena dua jiwa akan membentuk satu kekuatan besar. Namun, setelah aku hidup dengannya di bawah ikatan itu, bukan surga yang aku temukan, tetapi sebuah neraka besar”. Sejenak aku termenung dan melontarkan pertanyaan yang cukup provokatif atas isi update statusnya itu. Darimanakah kekacauan itu berasal? Bagaimana mungkin sebuah lembaga yang sakral malah menciptakan sebuah neraka besar bagi yang lain dan bukan surga yang bisa ditemukan dalam kedamaian, kebahagiaan dan harmoni? Tulisan ini akan memberikan jawaban atas pertanyaan itu tanpa memberikan sebuah solusi yang jitu karena setiap zaman memiliki persoalan dan jawaban yang berbeda atas aneka persoalan hidup.

Keluarga: Sebuah Medan yang Harus Ditempuri
Dalam tinjauan sosiologis, keluarga seringkali disebut sebagai inti atau nukleus masyarakat. Sebagai nukleus, keluarga menjadi pembentuk sekaligus representasi wajah buram dan cerahnya masyarakat. Hal ini diakui jika kita menyetujui hakekat keluarga yang bukan hanya berdiri soliter di dalam dirinya, tetapi sebagai organ yang keluar dari dunia kehidupannya. Representasi yang diharapkan adalah representasi pencerahan. Representasi pencerahan melibatkan suasana keluarga yang harmoni. Keluarga yang harmoni bukanlah bentukan yang sekali jadi, tetapi sebuah medan perjuangan yang harus melewati keadaan jatuh dan bangun. Salah satu jiwa pembentuk harmoni dalam keluarga adalah cinta. Dengan demikian, untuk mecapai taraf harmoni itu, keluarga harus bergulat dan berjuang untuk mengeskplorasi cinta. Penggunaan kata eksplorasi hendak mengatakan satu hal bahwa cinta itu bukan sebuah bentukan sesaat tetapi sebuah usaha berkelanjutan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja membawa berkat tetapi sekaligus kutukan. Berkat berupa kebahagiaan dan kutukan ditemukan dalam kenyataan semakin mundurnya kualitas hidup masing-masing pribadi dalam aneka bidang kehidupan. Salah satu hal yang terkena bencana kemunduran ini adalah hilangnya komitmen untuk menghayati cinta dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, dan baik waktu sehat maupun sakit dalam hidup berkeluarga.
Ketika masing-masing pribadi mengalami kemunduran, yang didambakan hanyalah sifat-sifat dan keadaan yang baik saja, sedangkan keadaan sebaliknya menjadi momok yang membawa penghancuran. Sepertinya semua usaha kehilangan nyali untuk bertahan. Di saat hidup berbunga-bunga, seolah dunia ini hanya millik berdua dan orang lain dianggap sedang menumpang. Mereka menganggap sepi setiap ujaran dan nasihat-nasihat berharga dari orang lain yang ada di sekitarnya bahkan acuh tak acuh terhadap suara hatinya sendiri. Realitas inilah yang terbaca dalam penghayatan nilai-nilai hidup berkeluarga dewasa ini. Yang ideal sebenarya adalah apa pun keadaannya semua harus ditanggung. Oleh karena hidup berkeluarga adalah medan perjuangan yang harus dilewati. Tidak ada segi kehidupan yang tidak dirundung problema. Problema bukan untuk dihindari tetapi untuk dihadapi sambil mencari cara yang tepat dan kreatif untuk mengubahnya menjadi energi positif yang membangun kehidupan berkeluarga menjadi lebih baik dan utuh.
Pembicaran seputar keluarga selalu dikaitkan dengan dua hal penting ini yaitu perkawinan dan anak. Perkawinan dalam prinsip teologis Gereja Katolik adalah peneguhan dan pengangkatan cinta manusia pria dan wanita ke tataran yang Ilahi. Dua jiwa disucikan dan disatukan dalam ikatan sakramental. Pendapat Kahlil Gibran tentang perkawinan senada dengan pandangan katolik. Namun bagi Gibran, perkawinan tidak bisa lepas dari cinta. Cinta yang sebagai esensi eksistensi manusia merupakan dasar dari pembentukan sebuah hubungan perkawinan. Karena itu, perkawinan tidak bisa dipikirkan tanpa cinta. Kesadaran untuk membentuk sebuah hubungan perkawinan pertama-tama berangkat dari kesadaran dua insan yang saling mencintai. Gibran mendefinisikan perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan adalah penyatuan dua keilahian dan akan melahirkan buah keilahian lain di muka bumi. Ia menjadi penyatuan dua jiwa dalam cinta yang kokoh. Ia adalah ikatan agung yang menggabungkan kesatuan-kesatuan yang terpisah dalam satu ruh”.
Pendefinisian perkawinan di atas tidak hendak menolak tujuan penting dari perkawinan sebagai lembaga yang meneruskan keturunan (prokreasi). Gibran sebenarnya sangat menekankan hubungan inter-subjektif dari dua orang yang membentuk satu institusi baru yaitu keluarga. Cintalah yang menyatukan mereka dan dengan cinta yang sama mereka membentuk pribadi yang lain di muka bumi yaitu anak. Keluarga yang ideal selalu terdiri atas kedua orang tua dan anak-anak. Namun, tak jarang terjadi kepincangan ketika tidak membuahkan keturunan. Ketidakhadiran pribadi yang lain itu tidak menghalangi kesucian dan keabsahan perkawian dan keutuhan sebuah keluarga.

Prinsip Kehadiran dan Ketersediaan Diri
Bagi Gabriel Marcel, cinta itu syarat akan “kehadiran” dan “ketersediaan” subjek. Subjek yang mencintai hadir bagi subjek yang dicintai, demikian juga sebaliknya. Prinsip kehadiran ini terjadi karena masing-masing subjek terbuka untuk menerima yang lain. Gabriel Marcel menyebut sifat keterbukaan terhadap kehadiran yang lain ini dengan istilah “ketersediaan”. Dalam hidup berkeluarga, prinsip ini menjadi jelas dalam bentuk penerimaan suami terhadap seorang istri dan sebaliknya. Seorang suami hadir dalam dunia kehidupan seorang istri dan sang istri hadir dalam dunia kehidupan sang suami.
Dalam relasi kedua orang tua dan anak-anak, kedua orang tua harus hadir dalam dunia sang anak. Mereka terlibat dalam kehidupan anak-anaknya untuk memerhatikan pertumbuhan fisik, psikologis dan spiritual anak. Seorang anak juga harus membuka diri untuk menerima kehadiran kedua orang tuanya. Pendidikan yang dikemas oleh kedua orang tua kepada sang anak harus bersifat dialogis dan menepis sistem pendidikan yang monolog. Prinsip dialogis ini menawarkan sikap partisipatif kedua belah pihak. Pendidikan bukan pekerjaan tunggal kedua orang tua apalagi memaksakan kehendaknya kepada anak-anak, tetapi sistem timbal balik keduanya. Pada taraf inilah pendidikan itu membebaskan seperti yang digagas Paullo Freire, filosof pendidikan asal Brasil itu.
Ketika semua organ dalam lingkungan keluarga merasa diterima dan bertendensi untuk selalu hadir bagi yang lain, keluarga bukanlah sebuah neraka tetapi sebuah surga yang nyata. Dengan demikian, pandangan utopis Jean Paul Sartre tentang yang lain sebagai neraka bagi yang lain terhempas dan lenyap. Namun, kehidupan berkeluarga tidak pernah terhindar dari problema. Kesetiaan kreatif dalam membina hubungan akan mengubah problema menjadi berkat untuk membina hubungan berkeluarga menjadi semakin dalam dan berkualitas.
Relasi yang syarat akan penerimaan seorang terhadap yang lain selalu terjadi dalam komunikasi yang konstruktif. Sebuah bentuk komunikasi yang menumbuhkan masing-masing pribadi. Martin Buber melukiskan pola relasi dalam hubungan intersubjektifitas melalui bukunya
yang berjudul I and Thou. I and Thou melenyapkan prinsip represif dan mematahkan egoisme. Martin Buber menyebut pola relasi yang egoistis dan cenderung represif itu dalam hubungan subjek-objek I and It. Kekerasan dalam hidup berumah tangga adalah contoh praktis dari pola relasi yang egois dan represif ini. Suami memandang seorang istri sebagai pribadi (meminjam istilah Sartre) yang diobjekkan. Objektifasi atas subjek yang lain mencerminkan relasi yang subordinasi di mana yang lain bukan sebagai partner hidup, tetapi sebagai lawan. Pola relasi inilah yang cenderung membangkitkan konflik yang berkepanjangan. Di manakah cinta dalam suasana seperti ini? Cinta yang semula seperti rasa coklat, sekarang berubah menjadi tahi kucing.

Kesimpulan
Anthony De Mello menyebut dua bagian cinta yaitu cinta kreasi dan cinta identifikasi. Cinta kreasi adalah cinta yang produktif. Produktivitas cinta terletak pada prinsip pertumbuhan masing-masing subjek yang mencintai. Cinta tidak pernah membunuh karakter. Sedangkan cinta identifikasi adalah cinta yang dihayati secara penuh yang bermuara pada suatu identifikasi diri dari subjek yang mencintai dengan cinta itu sendiri. Kita yang mencintai adalah cinta itu sendiri. Keluarga sebagai medan pertempuran untuk mencintai mau tidak mau harus memaknai cinta sebagai kreasi dan identifikasi. Kreasi dan identifikasi mengandaikan sikap pemberian dan penerimaan diri satu sama lain. Orang tua menerima anak apa adanya, demikian juga seorang suami menerima sang istri apa adanya. Menerima apa adanya adalah sebuah syarat cinta. Sebuah penghayatan cinta yang total. Dan totalitas cinta selalu memiliki corak partisipatif yaitu berpartisipasi dalam suka dan duka, untung dan malang, baik di saat sehat maupun sakit.

DAFTAR BACAAN

Buber, Martin. I and Thou. California: Scribner, 1958.
De Mello, Anthony. Jalan Menuju Tuhan . Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Gibran, Kahlil. Suara Sang Guru. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000.
Hariyadi, Mathias. Membina Hubungan Antarpribadi Berdasarkan Prinsip Partisipasi Persekutuan, dan Cinta Menurut Gabriel Marcel. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Iromi,T.O. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Comments

Popular posts from this blog

PELAYANAN YOHANES PEMBAPTIS (MATIUS 3:1-17)

MENYINGKAP TABIR MATERIALISME DAN HEDONISME PARA ARTIS JAMAN KINI

NILAI SOLIDARITAS ACARA WUAT WA’I DALAM MASYARAKAT ADAT MANGGARAI