BINGKAI KEHIDUPAN (Catatan lepas di kala menikmati kejenuhan dan titik kesibukan)

catatan lepas. Nama inilah yang kuberikan kepadasetiap kata dan kalimat yang kutulis tentang dunia dan kegelisahanku tentangnya. Saya memulainya dengan cafeebreak berikut.: orang pintar adalah mereka yang selalu merasa diri bodoh, sehingga muncul geliat untuk selalu ingin belajar. Sedangkan banyak orang bodoh yang merasa diri pintar, sehingga tidak lagi ingin belajar bahkan dari kegagalannya sendiri. Tetapi
kebodohan bukanlah cita-cita semua umat manusia. Apakah ketiadaan stigma bodohnya manusia sama bobotnya dengan kesuksesan seorang pria atau wanita dan kegagalan-kegagalannya? Karena sesungguhnya di balik kesuksesan perempuan, terdapat cinta yang
gagal dan di belakang kesuksesan lelaki, terdapat perempuan yang dicintai. Perempuan sering mencintai pekerjaaanya dan lupa menjaga cinta kepada sesamanya. Sedangkan laki-laki berada di dua dunia yang membingungkan. Semakin dia sukses dia berhadapan dengan dua kenyataan yaitu antara dia mencintai satu perempuan sampai mati atau dia gonta ganti perempuan sebagai subjek cinta. Tak jarang, laki-lakipun memiliki hubungan gelap. Kesimpulannya jelas, kesuksesan tidak sama dengan ketiadaan kebodohan. Ketiadaan kebodohan hanya mau mengatakan satu hal yaitu kepandaian. Stigmatisasi bisa saja muncul dari sempitnya cara berpikir manusia. Tetapi,, bisa juga berasal dari arogansi subjektif atas orang lain. Namun, apapun definisinya, stigmatisasi adalah ciri dari keadaan bodoh. Kisah berikut kiranya bisa mengantar kita pada satu pemahaman bahwa bukan jamannya lagi kita harus hidup dalam pengkotak-kotakan. Yang lain adalah aku sendiri bukan yang lain sama sekali dariku. Kisahnya demikian: suatu pagi ini aku berjalan melewati salah satu lorong dari kota tempatku berdiam. Lorong itu tergolong sepi, tetapi keramahan warga yang mendiami daerah sekitar lorong itu membuyarkan kenyataan sepinya lorong tersebut. Aku berjalan dengan temanku yang kebetulan sudah tidak asing lagi bagi warga lorong tersebut. Sampailah kami di penghujung lorong dan bertemu dengan salah seorang sahabat dari teman seperjalananku. Dia menyapaku lembut dan bertanya tentang tempat aku berasal. Dengan lugas aku menjawab "saya berasal dari flores". Flores? Koq warna kulitnya tidak hitam? Rambutnya tidak keriting? Aku ragu kalau kamu orang flores. Kemudian kataku, "ya.... Benar, aku dari flores". Tidak! Paling-paling blasteran ya? Kataku dalam hati "blasteran dari hongkong?". Sesungguhnya, kejadian ini tidak sekali ini saja kualami. Sudah berkali-kali bahkan bosan. Stigma berkulit hitam dan berambut keriting adalah kenyataan yang sering kudengar. Kapan stigma itu kamu cabut dari kesadaranmu? Ataukah hal itu sudah mendarah
daging dalam dirimu? "Tanyaku dalam hati". Kisah ini mengingatkan aku pada cerita tentang black swan. Kebanyakan orang berpikir,
angsa itu berwarna putih, namun ditemukannya angsa
hitam di benua Australia sungguh mengejutkan banyak orang serta membuka pikiran banyak orang untuk tidak
hanya berpikir monologis tetapi plurali. Begitu banyak
kemungkinan tersembunyi di dunia ini. Dan
kemungkinan itu secara perlahan mulai menampakan
diri.
Di tengah kegalauanku tentang stigmatisasi, perjumpaanku dengan seorang bocah cukup bagiku
menjadi penyejuk di kala hati mengalami kegersangan.
Gersang karena jarang berjumpa dengan manusia-
manusia yang berbicara tentang sisi terdalam dari
hidup dan kenyataan yang dijalankan. Maklum, hari-
hariku lebih banyak berbicara tentang orang-orang daripada tentang diri dan pergulatannya dengan dunia.
Perjumpaan itu kutulis sebagai catatan harian di buku
kehidupanku. Tentang perjumpaan itu aku menulis
demikian, Di batas senja, aku disadarkan oleh dia yang
tidak
pernah kuanggap bahwa dirinya memiliki kekayaan jiwa. Meski kesadaran ini tumbuh seiring hari hampir
lewat dan berada persis di titik batas, aku tidak pernah
menyimpan pengalaman di titik batas ini bersamaan
dengan alunan tenggelamnya mentari. seorang anak
kecil, ya... Dia masih kecil jika kategori yang aku
gunakan adalah kisaran umur manusia. Tetapi, apa yang diungkapkannya kepadaku sungguh menyentak
kesadaranku. Cerita ini bermula dari pernyataan iseng.
Pernyataan yang tidak bermaksud untuk mengundang
dialog sungguhan dan berbobot. pernyataanku
demikian " nak, kita semua dianugerahi akal budi untuk
berpikir dan itulah kodrat manusia". Dari pernyataan itu muncullah pernyataan yang jika dikategorikan dalam
dunia pengetahuan sangat filosofis. Dia berkata begini "
bang, belum pernah aku berpikir untuk tidak berpikir".
Hanya demikianlah tanggapannya atas pernyataanku.
Mendengar pernyataan itu aku hanya diam dan sempat
berkata di dalam hati, "kau hebat". Bagiku, segala peristiwa adalah bentuk konkret dari
sekolah kehidupan. Bagiku,peristiwa kehidupian lebih
banyak mengajarkan aku tentang dunia dan kehidupan
daripada melalui kelas-kelas formal yang sudah kulalui.
Sehingga, alam semesta tempat aku berjumpa dan
bergulat dengan kehidupanku adalah sumber pengetahuan yang sesungguhnya.
Dunia kehidupan ini juga bak panggung tempat
dipentaskannya aneka drama kehidupan. kisah berikut
adalah salah satu drama tragedi di atas panggung
hukum dan perpolitikan Indonesia. Ninik setyowati,
inilah nama yang sering akrab di telinga sang suami, anak-anak, dan segenap keluarganya. Wanita asal
purwokerto ini, harus menerima
kenyataan pahit dan getir. Selain dia kehilangan anak
kesayangannya, beliau harus menerima ketetapan
Hukum sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan
yang menewaskan putrinya. dilihat dari kacamata hukum,,
letak hukuman dijatuhkan kepada mereka yang lalai.
Namun, dalam konteks keadilan sebagai bingkai besar
dari hukum, mba ninik harus dilindungi. Demi hukum
atau keadilan? Kadang keadilan dalam hukum
terjerembab bersama ketiadaan uang untuk menyilaukan hukum. Sekian!!

Comments

Popular posts from this blog

PELAYANAN YOHANES PEMBAPTIS (MATIUS 3:1-17)

MENYINGKAP TABIR MATERIALISME DAN HEDONISME PARA ARTIS JAMAN KINI

NILAI SOLIDARITAS ACARA WUAT WA’I DALAM MASYARAKAT ADAT MANGGARAI