POLITIK PARA HANTU POLITIK

Wajah politik Kisah kekelaman politik dimulai dengan kasus-kasus yang berhasil dikuakan dan membuat mata publik terbelalak. Rasanya tidak percaya jika Indonesia ini dihuni para politisi sekaligus sebagai pencuri. Kasus century yang sampai detik ini belum mendapatkan titik terang penyelesaian kasusnya, Hambalang yang menjerat MENPORA Andy Malaranggeng, KAPOLRI yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus rekayasa proyek simulator SIM, kemudian Anis Mata dari Fraksi Parta Amanat Nasional terlibat dalam aksi penyelundupan ekspor daging sapi ke luar negeri. Kasus-kasus ini menimpa pejabat tertinggi di Republik ini. Kita belum mengangkat kekelaman politikus di daerah-daerah. Jika semuanya diangkat kepermukaan, publik sepertinya muak dengan republik ini. Ironisnya, di tengah kekelaman negeri ini, daerah-daerah tertentu malah mengeluarkan PERDA yang tidak rasional. Perda tentang urusan ngangkang di atas sepeda motor di Aceh, perda tentang pengelolaan sekolah di Blitar yang merugikan kaum minoritas, dan perda yang sekarang tidak ramai diperbincangkan lagi yaitu soal Ribonding bagi kaum perempuan, batasan bagi kaum perempuan untuk tidak boleh keluar dari rumah di atas jam 9 malam. Inilah republikku. Republik penuh ironi. Korupsi, tindakan asusila dan teladan moral yang buruk mewarnai kehidupan para politisi yang sedang melakonkan peran mereka di panggung perpolitikan Indonesia, baik di tingkat nasional maupun yang terjadi di daerah-daerah. Kenyataan ini telah menjadi tontonan publik. Hal ini dibarengi dengan kebebasan media untuk meliput dan memberitakannya kepada publik. Kompas.com pernah melansir sebuah berita tentang masalah korupsi yang menjerat beberapa kepala daerah di Indonesia. Sebanyak 290 kepala daerah di berbagai belahan negeri ini ditahan karena pidana korupsi. Kenyataan inilah yang membuat politik itu diberi stigma negatif oleh publik bahwa politik itu dosa. Kisah asmara 4 hari antara Aceng Fikri Bupati Garut dan Fani Oktora adalah kisah tragisnya para politis. Mungkin sangat keterlaluan jika zona perpolitikan di Indonesia diberi predikasi “hantu”. Akan tetapi, kenyataan berpolitik bangsa ini membuktikan jika panggung politik Indonesia diperankan para hantu. Hantu-hantu itu ada di mana-mana. Mereka yang berhati malaikat terlengser dari jaringan praktik perpolitikan Indonesia karena tidak bisa memerankan diri sebagai hantu. Anehnya, rakyat indonesia malah menutup mata terhadap kehadiran para hantu tersebut. Semakin berwajah hantu, dia malah dipercayai. Dimulai dengan pertanyaan, apakah? Jika kita berbicara tentang politik di panggung perpolitikan Indonesia, kita harus kembali kepada definisi yang sesungguhnya tentang politik. Pendefinisian ulang ini dibuat agar rakyat dan para politisi bisa membedakan secara jernih antara berpolitiknya para politikus dengan hati malaikat dan politikus berwajah hantu. Kita meski mengenal dengan jelas apa sesungguhnya politik dan tujuan berpolitik. Sehingga, kita tidak sekedar menjadi rakyat yang digiring seperti domba yang dikawan oleh oleh para hantu. Tetapi kita di bawa ke rumput yang hijau. Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan. Aristoteles ( 384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut “zoon politikon”. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya. Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Politik sangat erat kaitannya denganmasalah kekuasaan,pengambilan keputusan, kebijaksan publik, dan alokasi atau distribusi. Pemikiran politik di dunia barat sangat mempengaruhi pemkiran politik di dunia Timur seperti Indonesia. Di dunia barat, pemikiran politik sangat dipengaruhi oleh filsuf Yunani yaitu Plato dan Aristoteles. Mereka beranggapan bahwa aktifitas berpolitik adalah proses untuk mencapai masyarakat yang terbaik. Masyarakat terbaik sering dimengerti dengan ungkapan kesejahteraan bersama (Bonum Comunae). Kesejahteraan umum atau kebahagiaan banyak orang (meminjam istilah St. Agustinus) adalah tujuan aktifitas politik yang sesungguhnya. Politik sesungguhnya kodrat yang melekat dalam diri manusia dan setiap interaksi dan komunikasi manusia sejauh dia manusia masuk dalam ranah politik. Politik tidak disempitkan dalam perhelatan PEMILU dengan berbagai intrik jahat di dalamnya. Juga tidak terbatas pada perbincangan-perbincangan partai yang sering dilakukan di ruang-ruang formal sampai di pinggir jalan bahkan di warung lesehan tempat manusia menikmati kopi pagi dan sore hari. Namun, dewasa ini politik dimengerti secara dangkal bahkan penghayatannyapun sangat sempit dengan memahami politik pada kepentingan-kepentingan orang tertentu di dalamnya. Seolah-olah politik itu bukan urusan masyarakat umum. Padahal semua manusia dari kodratnya adalah mahluk berpolitik. Dasar dari kodrat ini adalah nilai sosialitas yang dihayati manusia. Manusia sebagai mahluk sosial turut membidani kodrat berpolitiknya setiap manusia. Di mana ada interaksi dan komunikasi, di situlah politik ada. Politik tidak identik dengan intrik busuk dan haram. Politik itu suci karena tujuannya suci yaitu membawa manusia menuju kesejerahteraan. Bagaimana dengan perpolitikan di Indonesia? Beberapa hari belakangan ini, kita sudah menyaksikan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah di beberapa daerah di Indonesia seperti pemilihan walikota Jakarta yang dimenangkan oleh Joko Widodo, pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan, pemilihan Gubernur yang sebentar lagi diadakan di Jawa Barat, dan beberapa daerah lainnya seperti di NTT yang akan mengadakan pesta yang sama. Beberapa bulan lalu, KPU sudah menetapkan sepuluh partai politik yang lulus verifikasi masuk perhelatan pesta demokrasi pemilihan anggota legislatif dan eksekutif untuk rakyat Indonesia. Tidak sedikit partai politik yang kecewa karena tidak lulus verifikasi bahkan melakukan gugatan. Jika kita mau jujur, panggung perpolitikan Indonesia dihuni oleh para pelajar yang sedang belajar berpolitik yang baik dan etis. Mengapa tidak? Politikus-politikus Indonesia begitu mudah jatuh dalam pemahaman dan penghayatan politik yang kurang dewasa. Pesta demokrasi sebagai kesempatan rakyat untuk mengeluarkan suara sucinyamalah dicekoki dengan uang sehingga suaranya tidak algi suci, tetapi mengikuti cara kerja hantu politik. Politik tidak lagi sesuci yang dibayangkan. Kasus suap dan intrik politik uang pada saat pemilihan kepala daerah, anggota legislatif dari tingkat daerah sampai tingkat nasional bahkan untuk menjadi presiden, uang adalah pelicin suara rakyat. PEMILU tidak kalah hebatnya dengan aktfitas pasar dan bisnis. Aktifitas pasar yang penuh dengan peredaran uang dan bisnis yang mencari keuntungan dalam cara apapun. Politik kotor yang diperankan para pemeran politik Indonesia bukan lagi menjadi rahasia umum. Ajang bagi-bagi uang dan pesta rakyat menjadi media kampanye terselubung bagi politikus yang memiliki kepentingan pribadi. Masyarakat seolah-olah buta terhadap kebenaran. Para politikus lebih cerdik lagi karena sasaran utamanya adalah rakyat yang secara ekonomis belum berkecukupan atau miskin. Masyarakat demikian sangat membutuhkan uang. Daripada susah-susah mencari uang, apa yang dilihat diambil. Rakyat hanya disuguhi kesenangan dan kenikmatan semata melalui uang yang diberikan. Artinya, rakyat hanya diberi harapan tanpa realisasi. Konsekuensi dari politik pencitraan baik dengan cara halus maupun secara terang-terangan berdampak pada kinerja atau cara kerja sang politikus ketika menduduki jabatan tertentu di pemerintahan. Dia tidak lagi memegang visi dan misi serta program kerja yang dijanjikannya pada waktu kampanye PEMILU, tetapi sibuk dengan usaha pengembalian dana kampanye yang telah dikeluarkannya sebelum PEMILU. Yang terjadi bukan lagi mementingkan kepentingan umum, tetapi kepentingan pribadi. Siapa manusia yang mau rugi dalam kehidupannya. Mereka yang berniat suci terpaksa duduk manis di rumah dan tinggal menikmati geramnya cara berpolitik dari politikus yang tidak kalah dengan permainan para hantu yang kelaparan. Etika politik, pentingkah? Berhadapan dengan kekeliruan praktik politik di masyarakat kita, pendidikan etika politik sangat mendesak untuk diajarkan sejak dini. Hal ini penting mengingat bangsa ini dihuni oleh anak-anak yang memiliki masa depannya masing-masing. Penerapan politik etis perlu dikedepankan. Politik bukanlah keuntungan bagi penguasa seperti yang digagas Machiavelli seorang filsuf Italia. Aktifitas perpolitikan menguntungkan masyarakat umum. Dan untuk mencapai tujuan mulia ini, para politikus harus tahu etika berpolitik dalam aktifitas politiknya. Politik bukanlah aktifitas pribadi, tetapi banyak orang. Rakyat di Indonesia baru diperhatikan menjelang diadakannya PEMILU selebihnya rakyat disisihkan dari perhatian pemerintah. Pemerintah malah hanya terlibat dalam aktifitas kongkalingkong dengan para pengusaha untuk memperoleh jasa persen-persenan dari pengusaha tersebut. Politik sebagai keuntungan bagi penguasa adalah term untuk sistem perpolitikan di negeri ini. Etika politik berbicara seputar tingkahlaku politisi yang baik dan tidak. Etika berurusan dengan apa yang baik. Yang dekat dengan konsep etika adalah wilayah moralitas yang berurusan dengan hal yang sama yaitu perbuatan manusia. Apakah standar baik dalam perpolitikan? Apakah menurut ajaran agama tertentu atau golongan tertentu? Tidak! Standar baiknya sebuah aktiftas politik tertelak pada usaha politisi yang mengarah kepada pencapaian kesejahteraan umum. Para politisi diharapkan lebih berwatak cinta, konsisten dan membela kebenaran bukan melakukan aksi pembenaran diri. Kebenaran dalam politik adalah kebenaran tindakan berpolitik para politisi kita. Kesimpulan Selubung pangung politik Indonesia yang dihuni para hantu semakin jelas terlihat. Rakyat sudah pandai berbicara. Tidak ada lagi halangan bagi rakyat untuk mengatakan tidak kepada para hantu. Namun, rakyat Indonesia terjerat di antara dua pilihan yaitu menolak rayuan para hantu dengan konsekuensi kita tidak mendapat apa-apa atau menerimanya begitu saja tanpa adanya catatan kritis atas cara kerja para hantu politik tersebut. Saatnya mata publik harus terbuka lebar untuk melihat kebenaran politik yang sesungguhnya. Karena sesungguhnya, siapa saja yang menawarkan kesenangan pada saat pencitraan dirinya melalui kampanye politik, dia tidak akan menjanjikan apa-apa selain kebohongan publik. Dia melontarkan harapan tanpa realisasi.

Comments

Popular posts from this blog

PELAYANAN YOHANES PEMBAPTIS (MATIUS 3:1-17)

MENYINGKAP TABIR MATERIALISME DAN HEDONISME PARA ARTIS JAMAN KINI

NILAI SOLIDARITAS ACARA WUAT WA’I DALAM MASYARAKAT ADAT MANGGARAI