SABDAMU ADALAH GUNUNG BATUKU (Tafsiran literer dan teologis atas teks Madah Bhakti No. 614)
1. Tafsiran teks MB No. 614
a. Teks
Bukit gemunung berbaris membiru,
Durian cempedak sibak aroma
Sabda-Mu ya Tuhan tak diam membisu
Menggema, menggelitik ke dalam sukma
Penggalan teks Madah Bhakti ini merupakan lirik lagu yang dibuat pada saat Loka karya musik liturgi di Tering Kalimantan Timur tahun 1985. Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta yang diketuai oleh P. Karl-Edmund Prier SJ sering mengadakan lokakarya di berbagai daerah untuk menghidupkan benih sabda yang tumbuh di daerah-daerah dan suku-suku tertentu di Indonesia. Penggalan teks ini merupakan isi lagu yang bergaya Dayak Tunjung Kalimantan Timur. Perlu diketahui bahwa suku Dayak sangat dekat dengan alam dan mereka menggunakan alam sebagai bahasa metafora yang sangat dalam yanng berusaha menyatukan batin manusia dengan sang pencipta alam semesta.
b. Tafsiran literer
b.1. Tafsiran untuk dua baris pertama
Syair lagu di atas menjadi indah dan dalam ketika menyatukan dua hal yang berbeda untuk menyatakan sesuatu yang besar di balik syair tersebut yaitu dunia material dan dunia rohaniah atau spiritual. Pada dua baris pertama dari syair tersebut terdapat lukisan tentang dunia material yang tampak dalam penglihatan manusia yaitu bukit, gunung, durian, cempedak serta masuk dalam penilaian estetika dan rasa manusia. Nilai estetikanya berupa keterangan baris pertama untuk kata bukit dan gemunung yaitu berbaris membiru. Sedangkan nilai rasanya melalui indera pencecapan manusia yaitu keteranagan “sibak aroma” yang merujuk kepada harumnya buah durian dan cempedak. Besar kemungkinan jika dunia material baris kedua (durian dan cempedak) terdapat di bukit dan gemunung yang berbaris membiru. Keterangan membiru terasa janggal jika pohon durian dan cempedak yang berbuah itu terdapat di bukti. Kejangggalannya terletak pada keterangan warna. Pada umunya warna dedaunan setiap pohon berwarna hijau. Mengapa tidak disertai keterangan berbaris membiru? Namun, bisa dimengerti jika penggalan syair ini masuk dalam kategori pantun yang paling digemari oleh masyarakat suku dayak Tunjung.
b.2. Tafsiran atas kedua baris terakhir
Kedua baris terakhir dari syair lagu di atas merupakan lukisan tentang dunia spiritual atau rohaniah melalui keterangan Sabda-Mu dan menggema berserta keterangan-keterangan atas kedua hal tersebut. Sabda itu milik Tuhan. Hal ini diketahui dengan tambahan keterangan kepemilikan “Mu”. Manusia mengakui sabda yang berasal dari Tuhan atau dalam refleksi penginjil Yohanes tentang Tuhan yang adalah Sabda itu sendiri (Bdk. Yoh 1;1). Sabda itu tak diam membisu. Sabda itu selalu hidup bahkan tinggal dalam hati manusia. Sabda Tuhan itu menggema dan menggelitik ke dalam sukma. Sifat menggemanya sabda Tuhan itu terjadi karena sifat sabda itu sendiri yaitu sebagai sabda yang hidup. Sabda yang hidup itu masuk ke dalam sukma atau hati manusia.
b.3. Hubungan keduanya
Kata Bukit dan gemunung sejajar dengan sabda-Mu ya Tuhan meskipun kadar makna kedua hal tersebut berbeda. Namun, di sinilah letak kekuatan sastranya. Bukit dan gemunung tersebut berbaris membiru sedangkan sabda Tuhan tak diam membisu. Keterangan berbaris membisu dan tak diam membisu mau mengatakan satu hal bahwa sabda Tuhan yang hidup dalam alam semesta itu selalu hidup. Baris pertama dan kedua sama-sama berisi kekaguman manusia atas objek di luar dirinya yaitu bukit, gemunung dan sabda Tuhan yang memihat diri manusia baik secara lahiriah (pada dua baris pertama) maupun secara rohaniah (pada kedua baris terakhir). Bukit dan gemunung posisinya tertinggi dari bentuk topografi permukaan bumi lainnya. Demikian juuga sabda adalah yang tertinggi bagi hidup manusia.
c. Tafsiran teologis
Kitab suci sering menyebut bukit dan gunung baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian lama kita membaca kisah Nabi Musa naik dan berdiri di atas bukit untuk memegang tongkat Allah (Bdk. Kel 17;9-10), Samuel juga naik ke bukit setelah menerima penglihatan dari Allah (Bdk. Sam 9:19), bukit juga dijadikan sebagai tempat mempersembahkan kurban kepada Tuhan oleh para Raja di Israel (Bdk. I Raj 3;4). Dalam perjanjian Baru, kata bukit dan gunung sering digunakan. Yesus sering membawa para murid-Nya di atas bukit (Mat 28:16), Yesus sering berdoa di atas bukit (6:46) dan sabda bahagia Yesus juga diwartakan di atas bukit (Mat 5:1-15). Bukit dan gunung dalam Kitab Suci sering digunakan bersamaan bahkan gunung bisa disebut sebagai bukit (bdk. Bil 23;9, Ul 12:2, luk 23;20).
Bukit dan gunung dalam kitab suci menjadi tempat yang istimewa misalnya sebagai tempat untuk melakukan kurban persembahan dan berdoa. Hal ini bisa diketahui dari kisah Abraham yang membawa anaknya ke gunung Muria ketika Allah hendak menguji iman Abraham (Kej 22:1-21). Di atas gunung juga ketika murid Yesus mengalami transfigurasi dengan mengubahkan rupanya ke hadapan mereka. Di atas bukit juga Yesus sering berjumpa dengan Bapa-Nya lewat doa terutama di saat-saat terakhir dalam hidupnya. Bukit dan gunung adalah bahasa analog yang sangat dalam. Bukit atau gunung bisa disebut sebagai sabda Allah atau Allah sendiri. Pemazmur menyebut Allahnya dengan sebutan Allah gunung batuku (Bdk. Mzm 62:3).
Sabda Tuhan selalu hidup dalam hati manusia. Dia tidak pernah diam. Sabda itu selalu bekerja untuk menyejukkan jiwa manusia dan memantapkan hati. Sabda Tuhan bahkan hidup dan tinggal dalam alam semesta. Bahkan dikatakan bahwa dalam lingkungan hidup kita terdapat benih-benih sabda (logos spermaticos) yang hidup, bertumbuh dan berbuah banyak (DV Art. 11). Prinsip teologis dalam syair lagu di atas menggambarkan keagungan sabda Tuhan yang seperti bukit dan gunung dan cirinya berbaris membiru. Kekaguman Allah lewat alam semesta ini mengingatkan kita pada salah satu gagasan teologis yang sedang direfleksikan bersama sekarang ini yaitu teologi ekologis. Refleksi teologi ini mengajak kita untuk memandang keutuhan alam semesta sebagai ciptaan Allah dan memandang Allah lewat karya ciptaan-Nya sendiri yaitu alam semesta.
2. Tafsiran syair lagu Madah Bhakti No. 621
a. Teks
Banyak rupa urat ukiran
Berukirkan enggang kaliman
Manik-manik dirangkaikan
Kami bawa ke bukit Tuhan
Banyak rupa maksud niatan
Berbutirkan permata iman
Doa-doa diuntaikan
Kami bawa ke bukit Tuhan
Teks ini menjadi dia yang sangat indah bagi umat kristiani. Isinya sangat dalam. Bait pertama dan kedua saling berhubungan satu sama lain. Bait pertama merupakan bahasa metafora yang berusaha menjelaskan makna bait kedua. Bait pertama sangat memperlihatkan ciri sastra tempat lagu ini berasal. Sastra yang dimaksud adalah sastra suku Dayak. Kedua bait ini masing-masing memiliki puncak dan tujuannya sendiri yaitu menjelaskan bawaan umat ke bukit Tuhan.
b. Kritik literer
Banyak rupa, berukiran,dan manik-manik sejajar dengan kata banyak rupa, berbutiran, dan doa-doa. Keterangan dari beberapa kata ini juga memiliki kesejajaran bahkan mendukung pemaknaan terhadap baris yang lain. Manik-manik dirangkaikan, demikian juga doa-doa diuntaikan. Ada tindakan aktif untuk melakukan sesuatu yaitu dirangkaikan dan diuntaikan. Dari segi banyak rupa inilah nilai estetika terkuak. Banyak rupa hendak mengatakan keberagaman. Keberagaman tidak pernah melenyapkan nilai-nilai, tetapi malah menumbuhkan nilai-nilai.
Berukirkan sejajar dengan berbutirkan. Objek yang berbanyak rupa tersebut isinya enggang kaliman dan permatan iman. Keragaman objek itulah yang dikerjakan. Bait pertama merangkaikan manik-manik, sedangkan bait kedua menguntaikan doa. Manik yang dirangkaikan tersebut memiliki banyak rupa, tetapi menghasilkan ukiran yang indah ketika diukirkan dengan nada enggang kaliman. Doa-doa yang diuntaikan juga memiliki banyak tujuan (niat) dan tujuan doa tersebut didengarkan Tuhan karena berlandaskan iman dan kepecayaan kepada Tuhan. Yesus sendiri mengatakan bahwa “iman sebesar biji sesawi bisa memindahkan gunung (Mat 17:20)”. Kemudian St. Paulus menambahkan “sia-sialah iman kita jika kita tidak percaya bahwa Kristus bangkit dari mati (I Kor 15:14)”. Akhirnya, puncak dari iman kita adalah kepercayaan bahwa Kristus bangkit.
c. Refkleksi teologis
Manik-manik yang dirangkaikan dan doa-doa yang diuntaikan akhirnya dijadikan sebagai persembahan kepada Tuhan. Hasil karya dan doa-doa tersebut semuanya untuk Tuhan bukan untuk manusia. Kemuliaan Tuhan adalah tujuan akhir dari pekerjaan dan doa-doa umat Allah. persembahan-persembahan tersebut di abwah ke bukit Tuhan. Bukit dalam Kitab Suci biasa dijadikan sebagai tempat untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan. Para Raja dalam dunia perjanjian lama sering mengadakan korban persembahan kepada Tuhan di atas bukit (I Raj 3:4). Kisah Abraham yang mempersembahkan anaknya Iskhak di bukit Muria untuk menguji kesetiaan Abraham (Kej 22:1-21). Akhirnya, Yesus adalah kurban persembahan satu-satunya yang digiring secara keji ke bukit golgota. Di sana Dia disalibkan. Salib yang menjadi kebodohan bagi orang Yunani dan batu sandungan bagi orang Yahudi, tetapi bagi kita yang percaya, salib Kristus adalah Rahmat.
Liturgi sebagai puncak dan sumber kehidupan Gereja, Kristus dijadikan sebagai kurban dan altar satu-satunya. Ketika umat mengadakan korban di atas bukit, maka dunia perjanjian baru mengubah bukit tersebut sebagai altar satu-satunya yang adalah Kristus sendiri. Yesus adalah bukit Tuhan itu sendiri. Ke bukit itulah segala doa dan persembahan di bawa kepada Tuhan. Bisa dimengerti jika lagu ini ditempatkan sebagai lagu persembahan dalam liturgi Gereja. Lagu yang berisi doa-doa yang diuntaikan umat beriman pada saat perayaan Ekaristi. Melalui lagu ini, umat menyadari bahwa segenap kerja, doa dan ibadat umat beriman semuanya berpusat pada liturgi yaitu perayaan kenangan akan kebangkitan Kristus sendiri . Yesus yang dikorbankan adalah pusat penghayatan liturgi ekaristi. Dan Gereja memahami liturgi sebagai puncak dan sumber kehidupan menggereja.
Comments
Post a Comment