Manusia adalah anima religiosa. Pada titik ini, manusia sadar bahwa dirinya adalah makluk yang terbatas dan ada sesuatu yang dengan sebutan apapun adalah yang tak terbatas. Manusia memiliki kerinduan untuk menuju ke puncak ketakterbatasan tersebut tetapi itu hanyalah sekedar kerinduan karena sejatinya manusia adalah mahluk yang terbatas. Sebagai mahluk yang terbatas, manusia tunduk dan taat kepada yang tak terbatas. Dalam bahasa agama samawi, mahluk yang tak terbatas adalah Tuhan.
Harus diakui bahwa sebelum agama samawi yaitu Yahudi, Kristen dan Islam berkembang, sudah ada aliran kepercayaan asali masyarakat yang diyakini sebagai mahluk yang melebihi kekuatan manusia dan mereka menyebutnya mahluk gaib. Kita ingat dengan baik ada dua aliran kepercayaan asali nenek koyang kita yang disebut animisme dan dinamisme. Kedua aliran ini sudah menjadi entitas lokal genius. Mereka percaya bahwa alam memiliki kekuatan yang besar dan segala isi alam semesta memiliki jiwa atau ruh.
Tuhan disembah oleh manusia yang terbatas. Dia menyadari bahwa dalam ketakberdayaan ada Tuhan yang menjadi jaminannya. Walaupun ada pemikir seperti Feurbach yang merefleksikan bahwa Tuhan adalah hasil interpretasi pikiran manusia tatkala dia sedang mencari perlindungan di tengah keterbatasannya. Namun, sejatinya manusia memiliki rasa kagum atas ketakterbatasan (kesempurnaan) yang adalah Tuhan sendiri. Itulah sifat asali manusia
Di Indonesia, muncul gejala yang menyebut manusia yang berada di luar kepercayaan atau agama tertentu yaitu Islam adalah Kafir. Dalam pengetian yang sensungguhnya, kafir adalah mereka yang tidak mengenal agama atau yang tidak memiliki agama sebagai pegangan. Lalu, apakah karena tidak memeluk agama Islam mereka disebut kafir? Sesungguhnya tidak semua penganut Islam menyebut yang di luar islam adalah kafir. Lalu, apa saja pendasarannya sehingga yang nonmuslim disebut kafir?
Ustaz Ahmad memaparkan tiga kelompok orang yang disebut kafir dalam ajaran Islam: Pertama, mereka yang disebut oleh Quran sebagai Ahli Kitab, yaitu umat Yahudi dan Nasrani. Kedua, kelompok musyrik. Mereka inilah para penyembah berhala, api, matahari, dan sebagainya. Ketiga, kelompok munafik. Dari luar orang-orang ini tampak bagai muslim. Namun dalam hatinya, terdapat kekafiran. Dengan kekafiran inilah, kaum munafik harus terjerembab ke dalam kerak terdalam di neraka kelak. Berkaitan dengan point ketiga ini, Ustaz Ahmad menambahkan, "Dengan demikian, sebutan kafir sebenarnya berlaku juga bagi orang muslim".
Pengkafiran hanyalah pertanda kesombongan rohani. Ada kelompok yang memandang diri sebagai pribadi yang paling agamis dan memiliki kuasa untuk menyebut yang lain tidak agamis bahkan tak beragama. Akan tetapi, kalau kita membaca dengan baik kajian Islam tentang hukum islam di sana tidak terdapat satu titik atau ayatpun yang menyatakan bahwa di luar islam adalah kafir. Malah yang berhak untuk mengkafirkan yang lain adalah Allah. Pada tahap inilah manusia sudah mencaplok kekuasaan Allah yang memiliki kendali yang besar dalam hal pengkafiran. Tugas manusia sebagai umat Allah adalah menyembah Allah bukan meluruskan penyembahan orang lain. Yang menilai layak dan tidaknya doa dan penyembahan kita hanyalah Allah saja.
Dalam kajian Islam, Allah dan RasulNya selalu menganjurkan hambaNya untuk memperbanyak kebaikan kepada orang lain dengan saling mengingatkan pada kebaikan dan saling mencegah kemungkaran (Richard M. Martin:2001). Mengkafirkan orang lain berarti melanggar perintah Allah tersebut dan mengikuti jalan setan sebagaimana setan senang ketika manusia memiliki hati yang gelap yang jauh dari petunjuk Allah dan merupakan salah satu bahaya nafsu dalam islam.
Di tengah isu maraknya penyebutan kafir bagi non muslim, NU menghasilkan sebuah keputusan yang bijak melalui munas NU agar tidak menyebut yang bukan Islam sebagai kafir. Bagi kelompok Islam NU, penyebutan kafir sangat bernuansa diskriminatif dan tindakan diskriminatif sangat bertolak belakang dengan ajaran seluruh agama dan juga berseberangan dengan idelologi negara Indonesia yang menyatukan umat manusia yang berbeda suku, agama dan ras. Pernyataan kelompok NU ini mengundang interpretasi dan diskusi lanjutan karena bagi sebagian orang atau kelompok, sebutan kafir adalah hal yang lumrah.
Kalau kita melihat realitas yang ada, tidak ada manusia yang kafir. Bahkan sejak dalam kandungan ibu, manusia itu sudah memiliki kencenderungan untuk menyembah Allah. Prinsip Actus Potentia memungkinkan manusia sejak dalam kandungan sudah memiliki sikap menyembah Allah. Actus Potentia adalah prinsip moral yang berbicara tentang kemungkinan sesuatu menjadi ada atau terjadi. Manusia dengan kapasitas kemanusiaannya mampu membuka ruang terhadap pilihan untuk menyembah Tuhan dan sadar bahwa Tuhan itu ada. Lalu, apa yang membedakan kafir dan Atheis? Atheis adalah paham yang mengatakan bahwaAllah itu tidak ada. Tetapi tidak semua atheis itu menolak keberadaaan Allah. Ada yang tetap mengakui dengan hati bahwa Allah itu ada tetapi mereka tidak mau menyempitkan pengakuan akan Allah itu melalui ajaran agama-agama. Bahkan ada yang bergama tetapi hatinya menebarkan kebencian.
Jangan sebut aku kafir karena aku, kau dan dia memiliki hati untuk menyembah Allah yang Mahasempurna dan pada saat yang sama manusia menyadari keterbatasannya. Saya mendukung penuh hasil munas ulama NU yang menganjurkan agar penyebutan kafir bagi nonmuslim dihentikan. Pendasarannya sangat jelas bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama untuk menganut agama dan hal ini tertuang secara jelas dalam UUD 1945. Tugas kita adalah saling menghargai bukan memelihara hati untuk saling meniadakan satu sama lain. Hal inilah yang menyebabkan kebersamaan menjadi runtuh dan peperangan akan muncul. Menerima perbedaan itu hanya dilakukan oleh mereka yang sungguh-sungguh menghayati ajaran agamanya. Malah yang menyebut orang lain kafir, kapasitas keimanannya patut dipertanyakan.
Comments
Post a Comment