KESULITAN MENGATAKAN TIDAK
KESULITAN MENGATAKAN TIDAK
( Diskursus rasionalitas komunikatif Jurgen Habermas dan Klaus Heinrich)
I. Pengantar
Jurgen Habermas hadir sebagai seorang filsuf jerman yang mau menyegarkan kembali kebuntuan epistemologis teori kritis mashab Frankfurt generasi pertama. Kebuntuan epistemologis mashab Frankruft terletak pada ketidakmampuan mereka merumuskan sebuah solusi dari analisis dialektika negative yang mereka refleksi sendiri. pemikiran Klaus Heinrich dituangkan dalam artikelnya yang berjudul “ the Difficulty of Saying No”. Habermas menilai tulisan Heinrich ini sebagai tamparan keras bagi kaum positifis dan ontologisme. Habermas menemukan bahwa dalam ranah dialog dan komunikasi perlu adanya dialektika. Dan protes sebagai bagian dari bahasa komunikasi justru membutuhkan prinsip dialektis. Artikel Heinrich ini merupakan gagasan yang menggambarkan betapa sulitnya orang untuk mengadakan pertimbangan politik yang populis di Republik Federasi Jerman. Dan Habermas mempunyai salah satu terminologi politis yang cemerlang dalam alam demokrasi yaitu demokrasi deliberatif. Deliberatif artinya menimbang-nimbang, konsultasi atau musyawarah. Dalam demokrasi deliberatif perundangan dipengaruhi oleh diskursus-diskursus liar yang terjadi dalam masyarakat.[1] Dengan demikian terdapat kekuasaan komunikatif yang melampau kekuasaan yang menindas, memaksakan kehendak dan perundang-undangan kepada masyarakat. Dan inilah yang terjadi di Repuiblik Federasi Jerman. Negara yang ideal bagi Habermas adalah negara yang komunikatif, bukan represif.
II. Dialektika, melampaui ontologisme dan positivisme
Heinrich menulis artikelnya sebagai gugatan atas sistem pemerintahan pada zamannya yang ditandai dengan pemerintahan yang diktator dan represif. Dia menyusun protesnya sebagai perlawanan terhadap proses-proses pengrusakan diri. Dia sudah lebih jauh memikirkan akibat dari situasi politis di Negara Republik Federasi Jerman ( jerman barat) ini. Di mana rakyat dibungkam oleh kekuasaan yang melahirkan ketakacuhan atau kecuekan masyarakat untuk beropini. Protes bagi Habermas seperti yang dikutip oleh Frans magnis suseno merupakan perkelahian beradab yang memakai penalaran yang tahan uji.[2] Keterdiaman rakyat ini justru melahirkan ekses negatif yaitu pengrusakan diri. Klaus Heinrich sejalan dengan teori psikoanalisisnya Sigmund Freud bahwa penghancuran-penghacuran diri pada akhirnya memiliki percabangan jasmani juga. Gejala ini dalam terminologi psikologi disebut psikosomatis. Habermas melanjutkan bahwa dimensi pengrusakan diri yang dipaksakan dalam diskusi Heinrich akibat keterdiaman ini justru berhubungan dengan suatu kenyataan bahwa perspektif kaum positifis dalam mendiskusikan suatu problem tidak membawa titik terang dan jawaban yang memuaskan. Hal ini dimengerti melalui suatu pemahaman bahwa dalam menyelesaikan suatu persoalan, kita tidak memulainya dengan meneliti kehidupan material tetapi dengan mencari sebab-sebab yang memunculkan suatu akibat baru.
Pengrusakan masing-masing pribadi menyebabkan timbulnya keterpecahan dalam masyarakat. Dengan demikian unitas dalam masyarakat yang pluralis tidak terwujud karena masing-masing pribadi tak berdaya untuk membangunkan kembali diri dan Negara yang pernah berdiri kokoh. Sehingga salah satu tawaran baru dari Habermas untuk keluar dari situasi keterpecahan ini adalah melalui identifikasi diri. Dan upaya identifikasi ini ia peroleh dari pemikiran Hegel melalui kesadaran akan yang absolut ( Fenomenologi Roh) dan juga dari psikoanalisanya Freud. Akan tetapi persoalannya bahwa ketika kepribadian seseorang dibangun melalui identifikasi, maka persoalan yang terjadi adalah menolak adanya identitas. Akan tetapi yang dimaksud Habermas adalah usaha untuk menjaga keseimbangan komunikasi yang hancur karena keterdiaman yang utuh dan katerdiaman karena alienasi.
Dua bab utama dari bukunya Heinrich membahas tentang kesulitan untuk protes terhadap penghacuran diri dalam masyarakat sampai menenggelamkannya dalam ketakacuhan. Masalah identitas ada pada ancaman kehilangan identitas dan masalah komunikasi ada dalam keadaan keterdiaman yang sudah biasa terjadi. Masalah komunikasi adalah bagian yang paling inti dari pemikiran Habermas. Bagamana caranya supaya semua orang bisa keluar dari kungkungan keterdiaman yang mencekam dan berani mengekspresikan diri serta berdiskusi dengan masalah yang terjadi dalam diri dan dunia di luar dirinya termasuk tatanan pemerintahan yang korup dan haus kuasa. Protes adalah suatu komunikasi dialektis yang melawan kemapanan dan tradisi yang berjalan dalam koridor yang salah. Dan Habermas menekankan bahwa dialektika tentu saja disusun dalam komunikasi yang verbalis. Dalam hal ini kita harus menghindarkan perasaan takut kalau mau berkomunikasi. Dia mengambil teladan dari seorang filsuf Yunani yaitu Sokrates yang berani mati karena pemikirannya yang dialektis ( baca: melawan) dalam menentang tradisi yang mapan pada zamannya. Kita harus berani merebut kekuasaan yang represif dan menggantikannnya dengan kekuasaan yang komunikatif.
Dan inilah yang diimpikan Habermas yaitu terwujudnya masyarakat atau negara yang permadani tanpa tindakan anarkis dan represif tetapi dengan mendayagunakan nalar yang komunikatif ( rasionalitas komunikatif). Habermas mau melawan gejala umum yang memandang rasio sebagai alat ( rasionalitas instrumental) untuk meng-gol-kan kekuasaanya yang tiranik dan monopoli. Dengan demikian protes untuk mengatakan tidak pada akhirnya memerlukan pemikiran yang dialektis. Bukan suatu logika formal ( ontologi) ataupun melalui penelitian-penelitian empiris atas persoalan ( positivis). Ontologi bukannya berusaha untuk mengatasi asal-usul kekuasaan yang mengancam kemanusiaan dengan penghancuran diri tetapi malah menekan mereka. Ontologi kelihatan sebagai usaha yang gagal dalam mengubah ancaman kemanusiaan itu. Heinrich mengangkat tuntutan pemikiran dialektis dari tipos perjanjian lama tentang persahabatan komunal. Persahabatan komunal bukan tanpa adanya konflik tetapi karena konflik maka persahabatan itu menjadi utuh. Sehingga Habermas menjelaskan bahwa para teolog membentuk sejarah subjek dan menafsirkannya melalui pelatihan-pelatihan akan tetapi Heinrich bisa menginterpretasian akibat-akibat yang terjadi kini dengan memercayai dan menunjuk secara bebas tradisi tertua terutama tradisi Israel dan pergumulan para nabi untuk mewartakan kepastian kebenaran yang dipercayakan Tuhan dan dalam komunitas jemaat perdana yang dibentuk Yesus untuk meneruskan misinya.
Heinrich sendiri memformulasikan tesis-tesisnya dalam cara ini bahwa ada dua jawaban atas ancaman dari nasib ketidakpastian. Yang pertama adalah penolakan atas dunia yang mencoba untuk mengatasi ambiguitas penjelmaan dunia dan dihadapkan dengan penglihatan dari suatu nasib yang kekal dan mencoba membuat dirinya menyatu dengan nasib itu. Inilah jawaban yang diberikan oleh para filsuf Yunani yang menggambarkan adanya suatu dualisme atau dikotomi dalam kehidupan. Sedangkan jawaban kedua diberikan oleh para nabi Israel. Mereka menerima kenyataan ambiguitas dunia sebagai nasibnya sendiri.
Terhadap isu ontologis dari teori murni, para pengikut aliran dialektika menentang suatu pengetahuan yang melampaui ketertarikannya. Protes sebagai pembelaan terhadap suatu pencapaian identitas dan kesuksesan berkomunikasi adalah dialektika. Tentu saja dialektika secara tepat ada dalam berkata tidak ( yang menjadi analisis tersulit bagi Heinrich) karena dalam konteks menebus kehidupan, kekuasaan-kekuasaan yang jahat harus dihilangkan. Para penghianat ( penguasa yang korup dan tiranik) harus disadarkan bahwa mereka sendirilah yang mereka khianati.
Perspektif Heinrich pada akhirnya menyatakan persamaan antara kesadaran ontologis dan positifis bahwa keduanya runtuh ke dalam ilusi sugestif dari sejarah yang murni. Keduanya sama-sama bermaksud menggunakan perbedaan-perbedaan yang abstrak untuk membersihkan dunia dari setan-setan yang membahayakan. Pernyataan Habermas ini sangat rigorus. Pernyataan ini menyatakan ketidaksukaannya terhadap model dan pola pemerintahan pada zamannya. Sehingga baik ontologi maupun positivisme tetap sama-sama tak berdaya melawan hasil kekuasaan yang direpresikan. Ontologi hanya bermain pada penalaran dan kekuatan verbalis. Sedangkan positivisme sudah ditandai oleh keterdiaman yang termeterai. Positivisme pada saat yang sama secara berkala mengubah kata-kata ke dalam tanda-tanda yang mana hal itu kemudian berproses secara adil yaitu kehampaan bahasa dan sekaligus pencabuatan penyatuan bahasa. Padahal Habermas sendiri menekankan pentingnya bahasa dalam komuniaksi yang dialektis. Bukan bahasa senjata yang diperlukan tetapi senjata bahasa yang dibutuhkan. Dan senjata bahasa itu tidak pernah boleh digunakan untuk mematikan lawan[3]. Dialog komunikatif tidak boleh menghasilkan kubu yang kalah dan yang menang tetapi menjelaskan rasionalitas kehidupan bersama sehingga semua orang bisa setuju atau mencapai sebuah konsensus rasional.
Habermas memberikan komentar terhadap adanya pengetahuan( rasionalitas) dan nilainya bagi manusia. Pengetahuan rasionalitas kadang diekploitasi untuk kepentingan tertentu. Dengan demikian pengetahuan terjebak dalam bahaya utilitarianisme. Pengetahuan dipakai apabila dibutuhkan dan akibatnya pengetahuan juga terjebak dalam bahaya instrumentalis yang terkadang memakan tuannya sendiri atau justru membumihanguskan yang lain. Sebagai contoh adalah penemuan bom atom oleh Einstein sebagai penemuannya yang brilian justru kini menjadi mesin penghancur manusia yang paling efektif. Dan jika yang salah adalah rasional yang melulu instrumental, maka Habermas menelorkan sebuah solusi yang jitu yaitu dengan mempropagandakan adanya rasionalitas yang bersifat komunikatif yang terletak di dalam kemampuan manusia untuk mencapai kesaling-pengertian terhadap manusia lainnya yakni melalui bahasa. Dan dengan rasionalitas komunikatif inilah Habermas berhasil membuat terobosan baru dari kebuntuan para pendahulunya di teori kritis Frankruft dan kemudian melebarkan analisisnya sampai menyentuh refleksi filsafat bahasa, teori diskursus dan moralitas, serta refleksi tentang ruang publik di mana rasionalitas menemukan implementasnya yakni di dalam praktek dialog dan debat publik untuk mencapai kesaling-pengertian.[4]
III. Rasioalitas komunikatif Jurgen Habermas masikah relevan?
Para pemikir postmodern pun mencap Habermas sebagai salah seorang filsuf yang berpikir dalam paradigma subyek yang cenderung mengeliminir perbedaan dan partikularitas dan karena itu menindas[5]. Dengan kata lain, Habermas telah merumuskan sebuah pemikiran yang membenarkan penindasan atas nama universalitas.
Habermas pun tidak diam saja menerima kritik yang tampak berat sebelah tersebut. Di dalam perdebatannya dengan Derrida, Habermas berpendapat bahwa para filsuf postmodern adalah pemikir yang tidak mampu merumuskan konsep yang jelas dan tegas dalam menganalisis suatu permasalahan dan karena itu mereka bermain dengan kategori-kategori puitis, estetis serta tidak sistematis[6]. Konflik antara para pemikir postmodernisme dengan Habermas tersebut menjadi sangat kontroversial pada dekade 1980-an. Di dalam sejarah filsafat, periode tersebut lebih dikenal sebagai “diskursus postmodernisme”.
Lepas dari kontroversi tersebut, masihkah relevan pemikiran Habermas tentang pentingnya rasionalis yang komunikatif di era sekarang? Ataukah searah dengan kritikan para filsuf postmodernisme bahwa konsep itu sudah usang dan tak berguna serta tidak bisa menjadi sandaran untuk menganalisa serta memberikan solusi terhadap segala permasalahan yang kita hadapi sekarang.
Benar kalau Habermas mengatakan bahwa zaman sekarang manusia jatuh dalam miskonsepsi terhadap rasionalitas. Manusia salah menterjemahkan dan menjelmakan rasionalitas ke dalam sistemnya yang instrumentalis sehingga begitu banyak kejadian dan masalah sosial yang mengancam kedamaian hidup manusia. Salah satu contohnya bahwa ketika terjadi peristiwa 11 september yaitu runtuhnya WTC di Amerika, Habermas mengkritisi bahwa itu adalah suatu gejala ketidaknyambungan antara agama dan sekularisasi. Suatu ketegangan antara iman dan pengetahuan. Habermas mengatakan bahwa antara sekularisasi dan agama tidak boleh terjadi sikap saling bermusuhan tetapi keduanya harus berdampingan dengan cara memilih jalan tengah yang bernama commonsense yang rasional dan demokratis. Iman yang terungkap dalam agama harus menterjemahkan dirinya ke dalam bahasa ilmu sekular. Pemikiran Habermas masih sangat relevan untuk menjawabi persoalan zaman ini. Relevansi dari pemikirannya terbukti ketika dua hal yang berbeda ditemukan dan berkomunikasi satu sama lain.
Rasionalits ketika kembali ke alam demokratis Indonesia, rakyat sebenarnya memiliki kewenangan untuk menimbang-nimbang segala keputusan pemerintah. Keputusan pemerintah diuji kebenarannya melalui debat publik. Debat publik dalam konsep Habermas adalah adanya dialog yang terbuka baik antarindividu maupun dalam kelompok untuk meninjau dan menilai kembali kebijakan dan keputusan ayng sifatnya publik itu dan pada akhirnya ruang publik juga berhak unutk menyetujui atau malah menolak keputusan yang diberikan dan kebijakan itu. Demokrasi dari kodratnya tidak mengijinkan lahirnya pemerintahn yang elitis di mana segala kebijakan dan kewenangan diambil dan dikuasai oleh orang-orang elit. Demokrasi seyogyanya melahirkan pemerintahan yang populis di mana peran rakyat dalam segala kebijakan dan keputusan sangat diperhitungkan bahkan menjadi penentu utama.
Sepertinya kesulitan untuk mengatakan tidak yang diperbincangkan Habermas dalam dialognya dengan pemikiran Klaus Heinrich terjadi pada rezim orde baru yang di pimpin oleh Soeharto. Rakyat yang mengkritik pemerintah diawasi bahkan dimusnakan dari percaturan politk. Pun pula mereka yang berhaluan kiri dengan pemerintah. Segala kebijakan adalah kebijakan kaum elit yang mempunyai kepentingan tertentu. Rakyat pada rezim orde baru bukan tidak mempunyai kualitas raionalitas yang baik. Mereka mampu berpikir akan tetapi kenyataan membicarakan bahwa mereka yang mengganggu kenyamanan tatanan pemerintah adalah gulma yang harus disingkirkan. Dan salah satu akibatnya adalah munculnya keterdiaman dalam diri rakyat.
Pasca orde baru atau era reformasi nampak adanya perombakan tradisi dan budaya. Budaya kebisuan dan ketakutan menjadi hilang oleh kenyataan adanya demonstrasi untuk menuntut hak dan kewajiban yang adil terhadap pemerintah. Reformasi boleh dibilang sebagai masa dialektis untuk menentang tesis lama yaitu pemerintahan kaum elit menuju pemerintahan yang populis.
Daftar pustaka
Hardiman,f. Budi. Filsafat Fragmentaris.jakarta: kanisius. 2007.
_____________________. Filsafat modern.Jakarta: Gramedia.2004.
_____________________. Demokrasi Deliberatif model untuk pasca-soeharto?. Majalah Basis. Nmr 11-12, tahun ke- 53,). November- Desember 2004.
Habermas, Jurgen. Religion and Faith( Essays on Reason, God, and Modernity). Polity.
Suseno, Frans Magnis. 75 tahun Jurgen Habermas. Majalah Basis. Nmr 11-12, tahun ke- 53,). November-desember 2004.
____________________Filsafat sebagai ilmu kritis.Jakarta : kanisius.1992.
Mhtml:file://rasionalitas komunikatif JurgenHabermas,C:\Dokumens%20seting/agama,20iml. Diakses, selasa 14 April 2009.
Comments
Post a Comment