BELIS DI MANGGARAI; NEO-TRAFFICKING ATAU HUMAN AWARDS?

Pengantar
Tulisan ini lebih berbentuk analisis atas fennomena budaya lokal yang turut membentuk keberadaan saya. Dalam analisis ini, saya memakai metode khas dalam analisis ilmiah yaitu: See, Jugde dan, Act. Saya melihat secara menyeluruh fenomena budaya di mana saya dibesarkan kemudian memberikan keputusan filosofis dan nilai baru apa yang hendak saya tawarkan paling tidak untuk konsumsi pribadi. Tulisan ini juga lebih banyak mengkaji pengalaman dan pengamatan penulis atas fenomena budaya belis di manggarai.
Budaya belis adalah salah satu bagian dari warisan budaya yang ada di manggarai. Namun warisan yang mahaluhur itu mendapat sorotan yang begitu tajam dari masyarakat yang sedang bergulat dengan budayanya sendiri. Saya sendiri berangkat dari kegelisahan ketika melihat perkembangan budaya itu ke arah yang destruktif dan menjadi pemicu mapannya situasi kemiskinan. Namun bukan dampak ekonomis yang hendak saya soroti, tetapi dampak humanitas. Bagaimana kebudayaan itu membebaskan dan membawa manusia pada pemaknaan diri yang lebih manusiawi serta menemukan unsur hakiki dalam dirinya sebagai manusia. Adapun persoalan mendasar yang hendak saya putuskan adalah mengenai ke manakah arah budaya belis sekarang. Apakah sebagai bentuk baru dari penjualan manusia (human traffciking) atau masih berupa penghargaan atas hidup manusia ( human awards) khususnya kaum wanita ?

Wajah Natural Belis Di Manggarai
Tidak ada definisi yang baku atas istilah Belis yang ada di manggarai. Kita hanya dapat mengetahui bahwa belis itu merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak rona ( keluarga mempelai laki-laki) kepada anak wina (keluarga mempelai perempuan). Dan biasanya berdasarkan atas kesepakatan sebelumnya dan upacara kesepakatan atas mas kawin itu di sebut pongo. Setelah semuanya mencapai kesepakatan, ada waktu yang telah ditentukan untuk menyerahkan mas kawin itu di sebuah acara adat yaitu ‘wagal’ dan acara ini lebih meriah dari acara pongo. Acara wagal ini biasanya disertai dengan tarian caci (tarian khas manggarai). Perlu diingat bahwa, pada saat pongo (kesepakatan belis), terjadi proses tawar menawar yang begitu sengit antara tongka (juru bicara) dari pihak anak rona dan anak wina. Mempelai perempuan memberikan patokan belis yang harus dibayar kemudian ditanggapi oleh keluarga mempelai laki-laki berupa tawar-menawar sebelum adanya keputusan final. Kadang tidak ditemukanya kesepakatan dan apabila kesepakatan tidak ditemukan, maka acara itu ditunda lagi.
Untuk memahami belis secara mendetail, maka saya akan paparkan secara ringkas bentuk-bentuk perkawinan adat yang ada di manggarai. Sekurang-kurangnya ada tiga bentuk yaitu cangkang, cako, dan tungku.
Perkawinan cangkang adalah bentuk perkawinan antara seorang pemuda dan seorang pemudi dari dua keluarga yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan sebelumnya. Hubungan kekerabatan antara anak rona dan anak wina dalam perkawinan cangkang bersifat sangat formal sebagaimana dilihat ketika pihak anak wina melakukan negosiasi dengan pihak anak rona menyangkut besaran belis ‘maskawin’ dalam acara peminangan (du ngo taeng). Selain besaran nominal belis yang diminta pihak anak rona relatif tinggi, tuntutan cara pembayarannya juga begitu ketat. Jenis belis yang diminta pihak anak rona kepada pihak anak wina adalah kerbau (kaba), kuda (jarang), babi (ela), kambing (mbe), dan sarung adat (lipa songke) dalam jumlah tertentu sesuai status sosial keluarga anak rona. Apabila semua belis sudah dilunasi pihak anak wina, acara pernikahan (nempung) dapat dilaksanakan dan pengantin perempuan langsung diantar ke kampung keluarga anak wina melalui sebuah upacara adat yang disebut podo ‘antar’.
Perkawinan cako adalah bentuk perkawinan antara seorang pemuda dan seorang pemudi dari satu temali kekerabatan wa’u yang sama. Bentuk perkawinan ini hanya berlaku pada generasi lapisan ketiga ke atas. Penyimpangan terhadap ketentuan adat itu dipahami sebagai sebuah dosa berat (ndekok mese) dalam perspektif budaya manggarai. Terminologi umum untuk bentuk perkawinan yang menyimpang ini adalah “insect”. Diidentifikasi sebagai sebuah dosa berat karena tindakan itu bersifat antisosial yang menyebabkan ketidakselarasan hubungan sosial kemasyarakatan dalam lingkup kehidupan satu wa’u. Untuk mengatasi adanya dampak negatif terhadap hidup dari bentuk perkawinan ini, maka diadakan ritual pemutusan. Tindakan pemutusan hubungan itu biasanya dilaksanakan melalui sebuah ritual khusus yang disebut adak keti manuk miteng (ritual potong ayam berwarna hitam). Disebut demikian karena hewan yang digunakan sebagai sarana persembahan utama dalam ritual itu adalah seekor ayam berwarna hitam (manuk neni atau manuk miteng) yang dipahami dan dimaknai oleh orang manggarai sebagai lambang kegelapan dan kegagalan. Dalam bentuk perkawinan ini, belis tidak terlalu dituntut karena dianggap sebagai kecelakaan.
Perkawinan tungku adalah bentuk perkawinan seorang pemuda dari pihak keluarga saudara perempuan (weta) dan seorang pemudi dari pihak keluarga saudara laki-laki (nara). Seperti tersurat dari makna leksikal kata tungku ‘sambung’, perkawinan tungku bertujuan menyambung kembali hubungan keluarga antara saudara perempuan dan saudara laki-lakinya yang sudah terputus karena perkawinan cangkang.
Adanya belis secara ketat terjadi dalam bentuk perkawinan yang pertama yaitu bentuk cangkang. Dilihat dari tradisi yang hidup pada awalnya, belis merupakan bentuk penghargaan keluarga laki-laki terhadap keluarga perempuan karena telah menyerahkan anaknya untuk menjadi bagian yang sah dari keluarga besar sang lelaki.
Semula tradisi belis (maskawin) di manggarai tidak menimbulkan kegelisahan yang mendalam dari sebagian masyarakat manggarai. Belis dianggap sebagai nilai yang berharga dalam sistem perkawinan manggarai. Belis dimaknai sebagai tali pengikat persaudaraan dan kekeluargaan antara pihak anak rona dan anak wina. Namun ketika nilai itu mengalami pergeseran ke sifatnya yang pincang dan tidak sesuai dengan makna dasarnya, maka kecemasan, keresahan dan diskusi-diskusi yang produktif pun semakin hangat terjadi dan semuanya itu merupakan usaha manusia untuk mengembalikan keaslian makna dari nilai ‘belis tersebut’. Bahkan ada yang lebih naif lagi yaitu berusaha menghapus bentuk kebudayaan itu karena berada di medan paradoks hidup bermasyarakat karena di tengah situasi masyarakat yang sebagain besar warganya dilanda kemiskinan, belis dari tahun ke tahun semakin mahal bahkan terjerumus dalam hukum permintaan dan penawaran seperti yang terdapat dalam dunia pasar. Sehingga tulisan ini pun berangkat dari kegelisahan yang sama. Sebuah kegelisahan atas budaya yang semula menawarkan nilai yang berharga dan sekarang berubah menjadi momok yang memuakan bagi sebagian masyarakat. Gugatan-gugatan untuk memusnakan budaya itu pun kian menjadi-jadi.



Mengapa Gelisah?
Sebagai manusia yang sedang menggeliat dengan cara berpikir di jaman yang cerah ini, kegelisahan adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Dia tidak pernah diam sebelum segala hal yang mengusik nuraninya terasa aman. Mengapa begitu banyak masyarakat manggarai merasa mapan berjalan dalam koridor kultural yang salah. Dan mengapa pula begitu banyak pihak yang gelisah dengan budaya sebagai produknya sendiri? Siapakah yang memincangkan makna budaya itu dan yang berbuntut pada gugatan-gugatan sporadis untuk memusnahkan bentuk budaya itu dari pergulatan hidup manusia?
Saya dalam tulisan ini membawa ketegangan berpikir antara budaya yang membebaskan berupa penghargaan atas diri manusai dan budaya yang mengekang hidup manusia berupa model baru “penjualan manusia” yang lagi marak terjadi dewasa ini. Mungkin istilah “human trafficking” ini sangat mengenaskan bahkan menyakitkan sebagian orang yang masih mengagungkan budaya ini. Untuk meredam rasa amarah yang kian membeludak, maka saya harus menambahkan kata “terselubung” untuk memaknai kata trafficking secara halus dan tidak melukai perasaan.
Mengapa harus disebut bentuk baru penjualan manusia yang terselubung? Mungkin itu yang harus di kaji. Oleh karena setiap pernyataan harus disertai argumentasi yang logis, benar dan jujur. Untuk menjawab pertanyaan ini, saya harus kembali ke kegelisahan utama saya dan apa yang sedang saya geluti. Sekarang saya sedang bergulat dengan nilai. Nilai inilah yang diidambakan dan dipegang erat serta dicari oleh sejuta manusia yang sedang memaknai hidup. Budaya belis mendapat gugatan justru karena budaya yang semula meneteng nilai yang begitu indah malah jatuh dalam suatu bentuk nilai baru yang sangat artifisial dan untuk memenuhi hasrat manusia untuk semakin memiliki harta yang melimpah.
Semula belis itu dibayar dengan hewan-hewan peliharaan, sekarang dibayar dengan menggunakan uang. Hal ini benar karena alasan praktis di mana manggarai kekurangan hewan untuk membayar dengan cara demikian dan juga berhadapan dengan sebuah jaman di mana uang sudah “nyaris” menjadi segala-galanya untuk transaksi pembayaran. Tidak ada lagi sistem barter. Lalu di manakah letak kengawurannya yang menyebabkan nilai belis yang indah dan luhur itu terkoyak?
Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana tegangnya para tongka (jubir) untuk menentukan jumlah belis yang hendak dibayar. Tragis, karena di sana terjadi transaksi berupa tawar menawar seperti menawar barang-barang kebutuhan di pasar. Padahal acara ini menyangkut pribadi manusia yang hendak hidup bersama sehati sejiwa dan sampai mati. Nasib dan masa depan manusia digadai dengan harta. Kemudian hal lain lagi adalah melajangnya seorang gadis seumur hidup karena orang tua dari si gadis itu menetapkan standar yang tinggi untuk belis. Sekali lagi, ini sebuah ketragisan dalam memaknai budaya. Kenyataan ini sama seperti meng-iklan-kan anak kandungnya sendiri dan siapa cepat dia dapat. Walaupaun akhirnya tetap tidak ada yang berani meminangnya. Dasar dari semuanya ini adalah tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan si gadis itu, maka semakin besar juga standar belis yang dipakai. Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah komentar yang menarik di sebuah jejaring pertemanan facebook dalam sebuah diskusi kecil seputar belis. Dia mengatakan demikian bahwa hati-hati mengambil isteri yang lulusan sarjana di manggarai karena harga belisnya kalah dengan harga mobil terano. Bayangkan seorang perempuan manggarai yang lulusan S1 belisnya bisa sebesar seratus juta dan bisa lebih.
Bentuk belis itu berbeda-beda. Jika anak pejabat dan dokter (red- disini profesi dokter dianggap profesi yang sangat terhormat, seperti punya “kasta” tersendiri, makanya para orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya menjadi dokter), belisnya bisa mencapai 150 juta rupiah. Harga tersebut tidak akan turun, jika si keluarga pengantin pria tidak menunjukkan kerendahan diri ketika bernegosiasi dengan pihak pengantin perempuan.
Jika dia itu anak kelas bawah dan tergolong miskin sedangkan keluarga perempuan mengenal kapasitas kekayaan keluarga laki-laki, maka standarnya pun tinggi. Dan lebih parah lagi ketika permintaan itu tidak melihat kapasitas kekayaan dari pihak sebelah. Prinsipnya keluarga laki-laki memiliki kewenagan untuk membayar sejumlah uang ke keluarga perempuan. Dan unntuk menggenapi nas dari anak wina ini, si anak rona berusaha dengan berbagai cara bahkan dengan cara berhutang walapun keadaan ekonominya sangat meresahkan juga. Ini semua wajah buram belis manggarai yang harus dipikirkan kembali.

Membongkar Kemapanan Budaya
Kesadaran kritis, sebagai prasyarat kemajuan, tunduk di bawah kepatuhan mutlak pada apa yang sebetulnya sangat pantas kita kritisi. Kita mengikuti semuanya bukan atas dasar kesadaran akan kegunaan riil dari tradisi itu, melainkan karena sebuah keharusan adat; sebuah kemestian untuk mengikuti apa yang diturunkan leluhur, kendati memperlihatkan sesuatu yang amat tidak mendukung kemajuan dan karena hasrat manusiawi yang oleh Mictcel Faucoult sebagai hasrat untuk berkuasa.
Kemudian, perlu ditambahkan pula kenyataan bahwa acara-acara adat sering menghabiskan banyak waktu, yang "tidak seharusnya demikian" bila kita betul-betul menghargai waktu dan memahami makna dari upacara adat tersebut. Acara untuk memutuskan jumlah belis sampai pada pemberian belis itu membuang waktu yang sangat banyak. Kebanyakan masyarakat manggarai (penduduk desa) memang masih berpegang erat pada konsep tradisional tentang waktu, yang melihat waktu secara sirkular (melingkar); "waktu akan selalu terulang, waktu hari ini hanyalah pengulangan dari hari kemarin, dan waktu hari ini pun akan kembali terulang besok." Akibatnya kebanyakan masayrakat manggarai memang susah untuk "menang" dalam setiap persaingan di era global yang secara absolut menuntut penghargaan tinggi terhadap waktu serta efisiensitas dalam beraktivitas. Masih bisa dideretkan contoh-contoh lainnya yang memperlihatkan ketersandungan masyarakat pada pandangan adat dan budaya selain kepincangan dalam memaknai budaya belis.
Jika kebudayaan dijelaskan sebagai pembebasan diri dan aktualisasi potensi ke dalam dunia, maka dunia yang berubah pun meniscayakan perubahan kebudayaan. Dunia yang berbeda dengan hari kemarin menuntut wujud tanggapan (baca: budaya) baru yang juga berbeda dengan budaya hari kemarin, yang lebih sesuai dengan konteks hari ini, lebih mencerminkan kesadaran dan kemampuan manusia saat ini, dan yang merupakan wujud dialektika potensi manusia dengan konteks di sini dan masa kini. Wujud kebudayaan lama yang terbentuk karena konfrontasi orang-orang dulu dengan dunianya, yang tidak akomodatif lagi terhadap ekspresi diri manusia seutuhnya, mesti siap dibarui sehingga memungkinkan adanya perwujudan persona manusia yang utuh. Apa yang dialami dan dibentuk "saat ini" memang tidak pernah terlepas dari apa yang yang telah dikondisikan sebelumnya (budaya sebagai warisan). Orang tidak mungkin hidup tanpa tradisi sama sekali. Suatu masa sejarah senantiasa merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya. Akan tetapi, sejarah juga adalah pemutusan terhadap masa sebelumnya itu. Sejarah adalah kontinuitas dan diskontinuitas; kesinambungan sekaligus pemutusan. Demikianpun hakikat budaya dalam sejarah. Ia selalu merupakan kelanjutan dan pemutusan terhadap masa sebelumnya. Ketika ia dikatakan sebagai pemutusan terhadap masa sebelumnya, ia mengambil model yang berbeda dengan yang sebelumnya. Ia adalah bentuk kritis terhadap budaya sebelumnya itu. Akan tetapi, ketika ia dilihat sebagai kelanjutan dari budaya yang terbentuk sebelumnya, ia tidak terutama dilihat sebagai "produk" tetapi sebagai "bahan". Ia adalah bahan yang mesti terus dipermak sesuai dengan konteks sosial, politik, ekonomi ataupun geografis yang baru
Budaya belis yang syarat akan hukum penawaran dan memiliki bentuk neo-human trafficking yang dilakukan secara terselubung, harus menerima kenyataan bahwa ia harus diobrak-abrik dan siap turun dari tahta kemapananya dan siap pula menerima bentuknya yang baru. Sebagaimana yang digagas oleh Dryarakara bahwa hendaknya budaya itu membebaskan dan tindakan membebaskan itu terletak dalam proses budaya yang memanusiawikan manusia (humanizing human) bukan dalam cirinya yang membuat manusia itu justru kehilangan jati dirinya di tengah budaya sebagai produk vitalnya sendiri.

Penutup
Kalau dalam fenomena kebudayaan nasional itu ada yang bernama budaya nasional sebagai bentuk identitas nasional, maka dalam lingkup lokal pun terdapat budaya lokal yang menjadi dentitas daerah itu. Setiap organisme seyogyanya harus memiilki identitas sebagai cirinya yang khas dan menunjukkan keberadaanya sebagai entitas yang ada dan otonom. Budaya belis yang saya kaji dalam tulisan ini sudah menjadi identitas masyarakat manggarai. Identitas yang membuat orang memberikan deskripsi singkat atasnya. Mungkin apa yang hendak saya katakan ini tidak terlalu kuat sebagai acuan dalam argumentasi ilmiah. Paling tidak seperti itulah kenyataannya ketika saya bertemu dengan mereka yang mengenal manggarai dari permukaannya yaitu mereka yang hanya tahu bahwa manggarai itu terkenal dengan belisnya yang sangat mahal. Ketika orang mendengar nama manggarai (NTT), serentak orang berkata, oh… daerah yang belisnya sangat mahal itu ya? Inilah yang orang tahu tentang manggarai dan kenyataan ini adalah sebuah kebenaran yang tak terbantahkan.
Jika saya diminta untuk memberikan justifikasi yang tepat dan jujur atas fenomena budaya belis di manggarai terutama tentang sikap dan gagasan pribadi yang harus dilontarkan, maka saya lebih memilih agar warisan budaya itu tetap dipertahankan. Namun budaya yang berwajah buram (menurut penulis) harus disederhanakan dan dikembalikan ke maknanya yang asli yaitu sebagai bentuk penghargaan atas hidup seorang perempuan dan menjadi tali pengikat antara kedua belah pihak ( ata Rona dan Wina) bukan semata-mata sebagai proses terselubung human traffiking dalam cara yang baru.

















Daftar Bacaan

Budiman, Hikmat.2002.Lubang hitam kebudayaan, Kanisius: Yogyakarta.

Bustan, F.. 2006.Etnografi Budaya Manggarai Selayang Pandang. Kupang: Publikasi
Khusus LSM Agricola.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

PELAYANAN YOHANES PEMBAPTIS (MATIUS 3:1-17)

MENYINGKAP TABIR MATERIALISME DAN HEDONISME PARA ARTIS JAMAN KINI

NILAI SOLIDARITAS ACARA WUAT WA’I DALAM MASYARAKAT ADAT MANGGARAI