kunamakan itu tragedi

“KUNAMAKAN ITU SEBAGAI TRAGEDI”


Begitu banyak pengalaman yang dialami setiap manusia yang sedang menggeliat dengan hidupnya. Rajutan pengalaman itu ada yang bermakna, ada juga yang tidak bermakna sama sekali. Bermakna tidaknya pengalaman itu tergantung disposisi batin manusia untuk melihatnya bukan peristiwa kebetulan belaka. Namun perkara pemaknaan atas pengalaman mencapai puncak dan kepenuhannya dalam pemberian nama atas pengalaman itu. Saya akan membagi sebuah pengalaman hidup seputar pengembaraan hidup di atas sepeda pancal dari PONSA Ke Kampus STFT. Kunamakan pengalaman itu tragedi. Mengapa? Look Inside.....
Aneh, karena ini semua terjadi gara-gara si lubang. Apa yang hendak kubagikan berawal dari peristiwa terperangkapnya diriku dan sepeda yang kupakai pada sebuah lubang. Lubang itu sungguh membuatku jatuh dan dia (sepedaku) patah tulang ( ban Kempes).
Masih terekam dalam ingatanku akan peristiwa itu. Saking sadisnya perristiwa itu mengantar saya untuk tidak mudah melupakannya bahkan aku mencatatnya pada sebuah lembaran buku harianku. Cerita itu kuabadikan di buku kesayanganku. Mungkin beberapa tahun lagi memberikan inspirasi yang berharga buat hidupku.
Hari itu hari senin. Itulah tragedi pertama di lubang itu. Perjalananku harus melewati derasnya hujan dan lalu lalang kendaraan yang tidak memiliki kepekaan akan hidup sesamanya. Derasnya hujan semakin kurasakan ketika tubuhku tidak dibaluti mantel kesayanganku. Aku pun pasrah pada kehendak alam untuk berbuat sesukanya seolah-olah perjalanan hari itu merupakan takdir yang tak terlewatkan. Kudayungkan sepedaku sekuat tenaga dengan harapan aku akan tiba lebih cepat. Namun niatku dipatahkan oleh targedi ini. Ban sepedaku harus terperosok ke lubang yang terisi penuh dengan air. Karena air begitu banyak, saya tidak mengetahui kalau itu lubang. Karena lubang itu pun, saya jatuh terkapar di aspal yang penuh dengan aliran air hujan. Busyet.....gumamku. apakah aku marah? Tidak! Memikirkan Tuhan? Tidak sama sekali! Aku berkata kepada pengalaman itu, setan... sampai kapan semuanya berakhir. Apakah emas selalu dimurnikan ketika dia harus dibarai? Apakah pilihan hidupku menjadi murni dan tulus kalau melewati kejadian-kejadian aneh seperti ini dari hari ke hari? Emohhhhhh!!!! Emang Gue Pikirin.
Hari itu hari selasa. Hari itu menjadi moment kedua di lubang itu. Aku berjalan sendirian dari kampus ke rumah. Saya menikmati perjalanan itu dengan melodi indah dari piranti musik yang kubawa. Musik itu menidurkan kesadaranku. Dia memasung mataku untuk tidak melihat secara mendalam keindahan di luar diriku. Kesadaranku terbangun tatkala suara ledakan menembus suara nyanyian indah yang kudengar. Dan pelan-pelan kurasakan sepedaku tidak bisa didayungkan lagi. Kupusatkan perhatianku dan bertanya, mengapa? Ternyata ban depan sepedaku kempes. Dan anehnya, peritiwa ini terjadi persis pada lubang yang membuat aku terjatuh di hari kemarinnya. Kemudian gumamku, apa maumu hai lubang? Tidak lelahkah engkau mengganggu kehidupanku? Menangis karenanya aku tak bisa, tertawa pun tak bisa. Yang ada hanyalah termangu dalam kesendirian dan sambil mencari wartel untuk minta di jemput.
Inilah kisahku. Lubang itu memuakkan. Namun aku malas menelisik makna yang melampaui kekacauan lubang itu. Aku hanya bisa menamainya “lubang tragedi”. Hari pertama ia menggerogoti tubuhku, hari kedua dia membuat sepedaku sempoyongan dan hari ketiga dan seterusnya aku harus ekstra hati-hati ketika melewati lubang itu. Eh..lubang.....maunya...POK (tempeleng) saja ew..... (MMC)

Comments

Popular posts from this blog

PELAYANAN YOHANES PEMBAPTIS (MATIUS 3:1-17)

MENYINGKAP TABIR MATERIALISME DAN HEDONISME PARA ARTIS JAMAN KINI

NILAI SOLIDARITAS ACARA WUAT WA’I DALAM MASYARAKAT ADAT MANGGARAI