BUAH KARYA

BELAJAR MENJADI ORANG TUA (catatan harian seorang Guru) Belajar adalah aktifitas manusia sepanjang zaman. Manusia sejauh dilahirkan sebagai manusia dia terus belajar. Dia belajar dengan tujuan agar dirinya menjadi lebih manusiawi termasuk ketika belajar menjadi orang tua. Kata menjadi adalah kunci dari perbincangan ini. “menjadi” selalu merujuk kepada proses bukan kata jadian yang menganggambarkan suasana atau keadaan yang sempurna adanya. Sejarah perjalanan hidup manusia adalah perjalanan menjadi. Pengejaran dengan berbagai kesibukan dan aktifitas manusia setiap hari berdasarkan profesinya masing-masing terarah pada satu napas “menjadi” tersebut. Belajar menjadi orang tua berarti perjalanan yang dilalui dalam proses untuk menjadi orang tua. Begitu banyak orang yang memiliki anak dan diberikan predikasi sebagai orang tua, namun apakah mereka sudah menjadi orang tua bagi anak-anaknya? Atau orang tua hanya menjadi gelar karena kita sudah memiliki buah hati yang harus kita pelihara dengan memberinya makan dan minum sehari-hari dan menuruti keinginan anak-anak? Menyediakan fasilitas yang baik kepadanya,apakah itu cukup? Tak jarang kita hanya sekedar sebagai orang tua, tetapi belum menjadi orang tua yang mengasuh, mendidik dan menjadi teladan moral yang baik bagi anak-anak kita. Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah kejadian memalukan sekaligus menjadi bahan refleksi bagiku sebagai seorang guru dan orang tua bagi murid-muridku. Sungguh, kejadian ini membuatku nyaris tak bisa memejamkan mata dalam istirahat malamku pada malam minggu atau hari Sabtu, 16 Maret 2013. Gelisah hatiku sebelum aku mengungkapkan secara lancang tentang peristiwa tersebut. Saya menulis catatan ini untuk mengukir pergolakan batinku selepas dinodai oleh peristiwa tragis tersebut. Sabtu, 16 Maret 2013 adalah hari aktif kegiatan belajar mengajar di SMU Karya Budi tempatku mengajar dan menjadi pendidik. Pada saat itu, tepat Pukul 14.00, seorang Bapa (sengaja saya menggunakan huruf kapital pada kata bapa karena dia menganggap diri sebagai orang baik dan bijak) beserta puterinya datang ke sekolah menuju ke ruang guru dengan gayanya yang sungguh memuakkan nuraniku. Pada saat itu, saya adalah guru yang tersisa di ruang guru karena kebetulan pada saat itu, saya tidak memiliki jadwal mengajar. Saya menyambut bapa beserta puteri yang dibawanya dengan ramah. Dari pintu masuk dia dengan sergap mengatakan “saya ingin bertemu dengan Pak J (Inisial) dan beliau sudah kutelepon”. Saya mempersilahkan bapa itu duduk dan mendengar sejenak ocehannya yang dikeluarkannya secara tidak sopan. Melihat gayanya seperti itu, saya bergumam dalam hati, “punya anak, tetapi menjadi orang tua yang memalukan anaknya sendiri”. tidak lama berselang, Pak J pun datang dan saya segera bangkit berdiri serta mempersilahkan pak J ini melayani tamu yang datang menemuinya. Pada saat itu, dia juga melontarkan kelemahan sekolah seputar gaya hidup siswa di luar sekolah. Dan dengan berani dia meminta agar kepala sekolah, kesiswaan dan guru Bimbingan dan konseling (BK) turut hadir untuk mendengarkan ceramah berkedok kebenarannya yang berdiri di atas kedangkalan dan minim kewibawaan sebagai orang tua dan pribadi bergelar. Sayapun sibuk mencari pihak yang bersangkutan dan hanya menemukan kepala bagian kesiswaan yaitu Pak V (inisial). Ketika semua berkumpul, beliau kemudian membeberkan kisahnya dan menyebut seorang anak murid SMU Karya Budi yang “katanya” meneror keluarganya melalui SMS. Dan konon,anak ini yang berinisial S, berpacaran dengan puterinya yang beriisial E. Dalam penjelasananya, dia mengatakan bahwa anak laki-laki tersebut kerap mengirim SMS yang kurang sopan kepada bapa tersebut. Beberapa ini SMS sungguh merendahkan martabatnya sebagai orang tua dari si anakputerinya. Bapa ini melanjukan bahwa anak puterinya dilarang berpacaran apalagi masih SMP dan anak ini diinginkannya untuk sukses (aku tertawa risih dengan perkataannya) Segera kupanggil anak yang bersangkutan. Dan anak itupun datang. Perbincanganpun dimulai. Semakin lama bapa ini berbicara, semakin aku menyimpulkan jika dia datang bukan untuk berdialog tetapi untuk memberikan ceramah yang brutal. Dengan emosi yang menggebu, bapa ini menunjukkan jarinya kepada anak ini dan meludahkannya sebanyak dua kali. Pada saat itu, hatiku teriris-iris. “Betapa kejamnya kau memperlakukan muridku di hadapanku”, imbuhku dalam hati. Asal kamu tidak meninju muridku dengan tangan, aku akan selalu diam. Namun, saya akan berani membela muridku jika muridku sempat dipukul sekali saja. Berdasarkan laporan SMS yang dikirim anak ini dan yang dibacakan secara lantang oleh Pak J, anak ini sungguh berada dalam posisi yang salah dan benar jika perbuatan anak ini menganggu kehidupan berkeluarga dari si bapa ini. Namun, sebagai orang tua, selesaikanlah masalah anak-anak dengan cara kita sebagai orang tua bukan sebaliknya. Malah saya berkesimpulan bahwa yang tidak sopan adalah anak kecil dan yang tak tahu berdiplomasi dalam menyelesaikan masalah adalah mereka yang belum mengerti peran orang tua yang memberi solusi bagi sebuah permasalahan, bukannya menghujat kesalahan. Orang tua berperan untuk menumbuhkan anak-anak agar menjadi manusia. Meludahi muridku di depan diriku sebagai seorang guru adalah catatan hitam bagi si bapa ini dariku. Caramu sungguh sadis. Saya sebagai gurunya tidak pernah melakukan hal serupa kepada anak didikku. Memukulpun tak pernah meski mereka layak dipukul oleh karena kesalahan yang mereka lakukan. Namun, pendidikan zaman sekarang bukanlah pendidikan semi militer. Anak didik adalah pribadi yang sedang membentuk diri. Jatuh dalam kesalahan adalah ciri khasnya sebagai pribadi yang sedang belajar.jika kita benar-benar bijak dan merasa sempurna, kita tidak menghakimi kesalahannya, tetapi mengubah kesalahannya agar dia berubah menjadi manusia yang utuh. Lebih gila lagi, si bapa ini malah mengangkat kakinya dan menyuruh anak ini mencium kakinya sebagai tanda bahwa anak ini merasa bersalah. Sombong benar, kataku! Sungguh sebuah cara yang sangat salah ketika seorang yang menyandang gelar sebagai “orang tua” tidak memberikan solusi dalam suatu permasalahan, tetapi menghujani kesalahan itu dengan berbagai ucapan yang mencampakan jati diri anak yang sedang belajar. Kita perlu belajar MENJADI orang tua. Kita tidak bisa menggunakan tolok ukur penilaian kedewasaan seorang anak dengan kapasitas penilaian kita sebagai orang yang sudah dewasa (jika itu benar). Jika hal itu yang kita gunakan, sungguh sebuah kekeliruan yang besar. Bukan anak-anak yang bermasalah, tetapi kitalah yang bermasalah karena kedangkalan kita melihat kebenaran dalam sebuah permasalahan. Bukan kesalahan si anak yang diludahi, tetapi orang tua yang salah menyelesaikan permasalahan yang patut diludahi. SEKIAN!

Comments

Popular posts from this blog

PELAYANAN YOHANES PEMBAPTIS (MATIUS 3:1-17)

MENYINGKAP TABIR MATERIALISME DAN HEDONISME PARA ARTIS JAMAN KINI

NILAI SOLIDARITAS ACARA WUAT WA’I DALAM MASYARAKAT ADAT MANGGARAI