TERNYATA DIA CINTAKU


Memiliki atau Menjadi?
Paskah tentu bukan sekedar ritual rutinan, tetapi juga momentum membalikkan haluan hidup. Kebangkitan sang Mesias sejatinya menandai ‘kebangkitan’ kita dari irama, pola dan corak keseharian yang tak sesuai dan tak seharusnya. Maka mari ‘mengenakan kembali manusia baru seturut gambar Sang Khalik…’ begitu ujar rasul Paulus (bdk. Kol.3:10).
Paskah memang menggiring kita pada gelontoran citra-citra ideal, rupa-rupa kerinduan dan harapan, beraneka niat dan komitmen membangun diri sebagai ‘manusia baru’. Kecerdasan dan kedalaman kita tak ubahnya ‘mesin produksi’ yang efektif meracik dan menelurkan macam-macam gambaran tentang hidup pasca paskah, berikut segala niat dan komitmen yang menyatu dengannya…
Namun lebih dari itu, paskah kemudian melemparkan kita ke panggung ketegangan antara sekedar memiliki (having ) atau menjadi (being). Kita bisa saja memilih: bercukup-puas dengan memiliki aneka cita dan komitmen yang nyaman bercokol dalam benak. Atau maju selangkah dengan tekun berjuang mendaratkannya lewat geliat menjadi…, Bukankah lebih baik berpeluh-lelah dan bermandi keringat dalam keseharian demi menjadi seseorang, ketimbang sekedar memiliki dan memeluk mimpi-mimpi muluk dalam ruang imaji belaka??????

‘When You Love Someone…’
‘’Ketika engkau mencintai seseorang…, Engkau ‘kan melakukan apapun,
bahkan melakukan segala sesuatu yang gila, yang bahkan tak sanggup engkau jelaskan sebabnya…”
“Ketika engkau mencintai seseorang…, Engkau ‘kan berkorban.
Memberikan segala sesuatu yang kau miliki, tanpa pernah berpikir dua kali.”
Begitu petikan nasar abang saya, Bryan Adams dalam lagunya “When You Love Someone…” Meski tak akan pernah memadai melukiskan peristiwa cinta, tapi lagu ini setidaknya menyediakan sketsa ‘kegilaan’ cinta sang Khalik pada manusia…
Kitalah jantung hatinya.., untuk siapa puteraNya direlakan masuk dalam medan derita, sengsara dan wafat di palang kenistaan… Cinta memang menuntut pengorbanan, tetapi kebangkitan sang Putera adalah ekspresi paling nyata betapa cinta tak ‘kan pernah berujung kesia-siaan…
Jika kita juga mencintaiNya…, maka bukankah kita akan melakukan apapun agar hidup ini tak pernah menjadi sia-sia…???

Apa Yang Tersisa?
Layaknya sebuah perayaan, Paskah mendesak kita masuk dalam hiruk-pikuk kesibukan mempersiapkan ini dan itu, menguras tenaga dan pikiran, menghabiskan waktu dan kesempatan, sambil berupaya menyempatkan diri memaknai misteri terdalam yang tergeletak di balik semuanya…
Lalu setelah semuanya terjadi, apakah yang tersisa? Setumpuk rasa lelah? Kelegaan karena telah menyudahinya? Bayang-bayang kenangan riuh-ramai yang telah usai? atau segudang harapan dan komitmen yang masih saja menggelantung dalam benak?
Adalah wanita seperti Maria Magdalena yang menuntun kita masuk dalam ‘ketersisaan pasca Paskah’ yang berarti. Serentak setelah mengetahui Sang Rabuni bangkit, Ia segera pergi…, berlari cepat-cepat … dan memberitahukannya pada para murid. (Bdk. Mat. 28:8). Paskah Maria menyisakan antusiasme, semangat berlari dan hasrat mewartakan ketakjuban dan sukacita bagi yang lain. Paskah menciptakan celah bagi orang-orang yang tergerak menghidupi dan membawa sukacita Kristus dalam kesehariannya bersama yang lain… Bagaimana dengan sisa Paskah kita?


Bernyanyi…
Paskah memparadekan rupa-rupa nyanyian, mulai dari yang bernada mellow, ratapan-memiris hati hingga yang berirama riang meletup-letup. Paskah juga mementaskan rupa-rupa ekspresi wajah kala bernyanyi, pun aneka bentuk atau warna suara yang diproduksi keluar …
Tentu tak semua orang suka menyanyi…, pun tak semua orang bisa bernyanyi dengan baik. Tak semua orang mau belajar bernyanyi…, pun tak semua orang sanggup mengajari orang bernyanyi. Tak semua orang suka mendengarkan orang bernyanyi…, pun tak semua orang ingin orang lain mendengarkannya bernyanyi.
Namun hidup sepertinya lebih dari sekedar suka-tak suka, mau-tak mau, sanggup-tak sanggup, bisa-tak bisa. Sebab, pada saat-saat tertentu kita mesti melakukan apa yang tak kita sukai atau ingini, melakukan apa kita anggap tak mampu atau tak bisa kita lakukan. Hidup kerap menyajikan hal-hal yang saling berkebalikan…
Kata Romo Mangun, hidup itu layaknya nyanyian sebab nyanyian yang paling asli datangnya pertama-tama dari irama kehidupan kita (Bdk. Ragawidya, 1986:32). Lahir, tumbuh, dewasa dan mati atau menanam, tumbuh-hijau, berbunga dan berbuah, menuai dan menikmati adalah peta harmoni kehidupan yang mendengungkan irama lagu alami…
Maka menjalani hidup tak ubahnya bernyanyi. Di dalamnya, kita sendirilah pencipta nyanyiannya, kitalah penyanyinya, kita pulalah pendengar dan penikmatnya. Setiap hari kita berjuang menyusun nyanyian yang baik, belajar bagaimana bernyanyi dengan lebih baik, pun melatih mendengarkan dan menikmati nyanyian hidup orang lain…
Suka-tak suka, mau-tak mau, sanggup-tak sanggup kita harus bernyanyi setiap hari. Kita terus belajar bernyanyi dengan lebih baik agar makin nyaman didengar dan dinikmati telinga sendiri, juga oleh orang lain…

Comments

Popular posts from this blog

PELAYANAN YOHANES PEMBAPTIS (MATIUS 3:1-17)

MENYINGKAP TABIR MATERIALISME DAN HEDONISME PARA ARTIS JAMAN KINI

NILAI SOLIDARITAS ACARA WUAT WA’I DALAM MASYARAKAT ADAT MANGGARAI