BERIMAN DENGAN AKAL BUDI
Salah satu pertanyaan mendasarkan yang dilontarkan oleh St. Agustinus dalam bukunya yang berjudul "Confessiones" adalah "siapakah aku yang mencintai Tuhanku?". Pertanyaan ini sangat mendalam karena subjek utamanya adalah si pencinta Tuhan bukan Tuhannya. Walapun Tuhan bukanlah Objek penyembahan. Dia adalah sang kebenaran yang melampaui predikasi Subjek dan Objek dalam pandangan manusia. Nampaknya St. Agustinus sadar benar bahwa mencintai Tuhan adalah gugatan atas eksistensi diri manusia. Manusia mempertanyakan kehadiran dirinya di hadapan Tuhan yang dicintainya. Mencintai Tuhan adalah mengetuk nubari untuk mengenal diri. Karena mengenal diri sendiri itu merupakan pekerjaan yang sulit dilakukan karena kita tidak sekedar menghadirkan diri kita sebagai apa adanya tetapi jauh dari itu adalah diri kita yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pernyataan St. Agustinus ini sangat cocok sekali direnungkan oleh manusia-manusia yang tidak mengenal dirinya padahal mencintai Tuhan.
Akhir-akhir ini tensi kehidupan berbangsa kita sedang dilanda pemanasan global sehingga di sana sini saling hujat hadir begitu mudah sedangkan saling memaafkan menjadi kata dan ucapan yang sangat langka. Kata maaf dan menerima orang lain apa adanya seolah menjadi dinosaurus yang tinggal nama dan fosil. Padahal kebanyakan masyarakat kita adalah kaum beragama yang mencintai Tuhan melalui agama yang dianutnya.
Hadirnya tensi kehidupan yang samakin tinggi itu karena munculnya gerakan dan pola pikir yang anti masyarakat pluralis. Mereka menginginkan agar bangsa ini menjadi bangsa yang homogen. Sebuah bangsa yang dihuni oleh satu jenis pemahaman dan aliran kepercayaan. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, apabila dipaksakan untuk menjadi sama akan menghasilkan khaos atau kekacauan yang berkepanjangan. Yang perlu dilakukan di tengah perbedaan adalah hilangkan budaya memaksa dan kembangkan budaya saling menerima satu sama lain.
Karl Max dalam bukunya yang berjudul "Das Capital" mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat. Tesis Karl Marx ini berangkat dari konteks tertentu di zamannya yaitu adanya jurang pemisah antara kelas tuan dan budak, antara kaum prolektar dan Borjuis. Agama sebagai candu masyarakat karena agama bisa meninabobokan penderitaan yang dialami seseorang, yaitu dengan percaya adanya takdir atau sudah menjadi kehendak Allah. Kaum kelas bawah berlindung pada kehendak Allah atas apa yang mereka alami. mereka percaya bahwa itulah takdir ilahi. Tapi bukan takdir ilahi yang membuat manusia menjadi tidak percaya kepada Tuhan. Manusia menjadi tidak percaya kepada Tuhan karena konsep dan pola pikirnya berkembang. Sesungguhnya manusia zaman kini bukan tidak percaya kepada Tuhan, tetapi tidak mau mengakui Tuhan yang disempitkan dalam ajaran-ajaran agama formal.
Kaum penganut agama formal saking percaya dan fanatiknya terhadap ajaran agama sampai tidak membuka diri terhadap kehadiran yang lain. Bahkan menajiskan yang lain dengan memberi cap Kafir. Kafir adalah sikap tidak percaya kepada Tuhan. Kata ini muncul apda abad pertengahan. disematkan kepada mereka yang masih percaya kepada dewa-dewi zaman kuno atau yang menyembah berhala.
Siapakah mereka yang mengkafirkan yang lain? Mereka adalah kamum sumbu pendek yang kehabisan daya untuk memancarkan cahaya. Karena tak berdaya mereka berbicara lantang kepada yang lain sebagai manusia yang tidak bertuhan. Siapakah Tuhanmu sampai engkau mengkafirkan diriku? Siapakah dirimu sampai engkau mempersempit ruang gerak Tuhan pada ajaranmu saja? Bukanklah semakin beriman kita semakin dekat dengan yang lain sebagai sesama ciptaan yang agung? Mengkafirkan orang lain adalah pertanda bahwa dia itu seorang kafir yang menyembunyikan kekafirannya dengan menuduh yang lain kafir. Jika kalian tidak kafir tunjukkan kebaikan-kebaikan Allah yang kalian hidupkan dalam dirimu. Bukan TUHAN yang hidup dalam dirimu tetapi HANTU yang mengkafirkan manusia BerTuhan. Jangan-jangan mereka ini sedang kehilangan orientasi hidup karena tidak mengenal diri tatkala mencintai Tuhan.
SANTO Anselmus dari Canterbury (1033–1109) berpendapat bahwa iman mendahului pengertian. Orang percaya terlebih dahulu, baru di dalam bingkai kepercayaan itu ia mencari pengertian. Ungkapan yang terkenal itu berbunyi fides quaerens intellectum (iman mencari pengertian). St. Anselmus mengatakan, “Saya tidak mencari pengertian agar supaya saya percaya, melainkan saya percaya supaya saya dapat mengerti. Maka dari itu saya berkeyakinan, bahwa seandainya saya pertama-tama tidak percaya, maka saya tidak akan mengerti.” (Neque enim quaero intelligere ut credam, sed credo ut intelligam. Nam et hoc credo, quia, nisi credidero, non intelligam).
Sangat penting kita mengerti apa yang kita percayai. Dengan mengerti, kita tidak beriman buta tetapi beriman dengan akal yang sehat. Kita beriman sambil membuka diri terhadap perubahan dunia yang sedang terjadi. Manusia zaman sekarang tersesat dalam cara beriman yang salah. Tuhan yang diimani dikurung dalam bingkai fanatisme. Tidak mengherankan jika membunuh orang lain demi iman yang salah adalah benar. Logika beriman seperti ini adalah sebuah kesesatan yang paling sesat. Bahkan Tuhan digadaikan kemegahannya dalam kampanye politik praktis untuk memenangkan pasangan calon dalam perhelatan Pilkada. Karena beriman kepada Tuhan juga manusia rela mengkhianati yang benar dan membela yang salah. Bahkan dengan suara yang lantang mengumandangkan kebencian kepada yang tidak sepaham denganmu. Di mana Tuhanmu tatkala pada saat yang sama kamu percaya kepada-Nya tetapi di sisi lain kamu memperlihatkan ketiadaan Tuhan dalam dirimu. Tuhan kita satu tetapi dimuliakan dengan cara yang berbeda-beda.
Comments
Post a Comment